Sabtu, 09 Desember 2006

Badan Semi Otonom IAIC

When people just know, prefer, than “more”..

Sejauh ini legalitas BSO baru mencapai SK Organisasi yang dikeluarkan oleh Kepengurusan Pusat IAIC. Ketika hanya mencangkupkinerja internal maka hal ini sudah lebih dari cukup, akan tetapi ketika BSO mewakili kebijakan strategis jangka panjang yang menlibatkan eksistensinya dalam Masyarakat secara umum, BSO ahrus memiliki legalitas yang lebih dari SK Organisasi. Akta Pendirian atau secara tersurat tercantum AD/ART adalah langkah berikutnya yang harus ditempuh.

Sebelum lebih jauh tentang legalitas BSO, ada baiknya saya menjelaskan visi yang dititipkan dalm BSO ini. Badan Semi Otonom IAIC mewakili pengejewantahan strategi kebijakan jangka panjang dan cara pencapaian. Akan tetapi BSO harus dibuat pula sedikit terikat dengan kepentingan IAIC, artinya tujuan puncak dari BSO ini adalah menopang agresifitas IAIC sebagai Organisasi, yang terbatasi dari ruang lingkup anggotanya. Artinya status sebagai alumni Insan Cendekia menjadikan IAIC sebagai sebuah Organisasi yang kenaggotaannya terbatas, dimana hal itu bila tidak disikapi akan menajdikan eksklusifisme sempit, yang menjadikan IAIC tidak dapat mendistribusikanmanfaatnya karena permasalahan internalnya.

Dalam pencapaian Organisasi, BSO mengambil posisi sebagai “tangan panjang” dewan presidium, yang akan diusulkan pada Mubes IV ini, dengan kata lain perubahan ini dirasa perlu, karena bagaimanapun dinamisasi IAIC ahrus terus disesuaikan dengan perkembangan yang terjadi.

Selayaknya Institusi Otonom yang sedikit terikat, maka BSO memiliki keterikatan dalam hal tujuan puncak, dan menajdikan pengembangan IAIC bergantung secara penuh pada individu-individu yang concern didalamnya.

Keanggotaan BSO tidak otomatis seperti keanggotaan IAIC, hanya anggota IAIC atau non-anggota (belum dibicarakan lebih lanjut) yang memang concern didalamnya yang dapat menajdi anggota BSO, tentu pula disesuaikan dengan prasyarat yang diinginkan oleh BSO tersebut.

Sebagai contoh, Koperasi IAIC, hanya cukup mensyaratkan Anggota IAIC yang memiliki dana wajib sebesar Rp. 5.000,- (sejauh ini), dan non-Anggota IAIC yang memiliki dana potensial, tentu lebih dari sebesar Rp. 5.000,-.

ILC yang memberi syarat memiliki self belonging terhadap keilmuan dan keinginan dediaksi tanpa batas kepada Masyarakat secara umum.

Pencinta Alama IAIC, yang memberi syarat tingkat loyalitas yang tinggi dengan penkaderan yang kuat, akan menjadi poris utama dalam pengembangan BSO ini.

Kembali pada topik awal, pengembangan BSO ini bisa menjadi sebuah awal terbukanya ekslusifisme sempit IAIC, dan BSO ini juga menjadi garda depan pencapaian dedikasi kepada masyarakat luas.

Yang perlu diingat, pengembangan BSO tidak terpaku pada mekanisme IAIC secara gamblang, artinya perundangan dalam BSO diatur oleh BSO itu sendiri dan diawasi oleh Dewan Presidium IAIC. Dengan kata lain BSO adalah garda depan IAIC itu sendiri dalam perihal pengejewantahan dedikasi ke masyarakat luas.

Untuk kedepannya perihal BSO ini bisa diakses melalui www.insancendekia.org, akan tetapi perlu dimengerti pula pengembangan IAIC maupun BSO ini akan menjadi lebih mudah bila diikuti pula oleh konsistensi dan kepedulian anggota IAIC.

--
ABDULLAH ARIFIANTO '02
Site: [www.andoide.com]
Blog: [ www.andocurhat.andoide.com ]
YM: [ eaton_gai ]
the man who has no imagination has no wings to fly high

Jumat, 01 Desember 2006

Restrukturisasi IAIC

IAIC tidak akan bisa besar secara massif tapi ia bisa besar karena manfaatnya.

Sebelum memahami akan perubahan struktur IAIC, anak judul dibawahnya ahrus dapat dipahami sebagai dasar pemikirannya.
Sejauh ini IAIC berperan sebagai paguyuban bagi anggotanya, dan seiring dengan semakin berkembangnya individu didalamnya, mengakibatkan wadah yang dahulu tersa lapang, kini telah sempit, artinya cakupan IAIC harus diluaskan. Yang sebelumnya hanya bersifat masuk kedalam artinya memberi manfaat ke anggotanya kini diluaskan cakupannya dengan memberi manfaat ke luar, yakni masyarakat secara umum. Berikut pula harapan agar IAIC bisa lebih dari sekedar paguyuban bagi anggotanya, tapi juga sebagai sebuah sistem inkubator yang bisa mengembangkan anggotanya.
Agar IAIC bisa seperti itu, maka ada sedikit perubahan-perubahan yang harus dilakukan, tahapan awal dengan melepas fungsi administrastif pada puncak kepemimpinan IAIC, artinya puncak kepemimpinan IAIC harus dikondisikan memiliki wewenang dan kebebasan menghasilkan kebijakan strategis untuk pengembangan IAIC dan anggotanya.
Sebagai contoh kasus, ketika draft pengembangan alumni mau diajukan, ada permasalahan mendasar, yakni fungsi ketua yang masih terbebani dengan permasalahan administratif, sehingga masih mencoba mengoptimalkan kinerja kepengurusan. Dan pada kepengurusan ini diambil sebuah strategi mengoptimalkan fungsi yang ada, dan mulai menempatkan fungsi khusus pada tim yang bisa lebih independen dan optimal kinerjanya, yang ditandai dengan pembentukan BSO. Sehingga bisa dilihat bahwa kepengurusan sekarang menjadi bentuk kepengurusan transisi dalam rangka mempersiapkan IAIC yang lebih mantap.
Puncuk kepemimpinan IAIC yang dilepas fungsi administratifnya (yakni ketua) digantikan dengan sebuah tim yang solid, diwakili oleh berbagai kalangan (angkatan) yang bisa memberi peran IAIC lebih dari sekedar paguyuban. Dan ini yang kita coba sebut dengan Dewan Presidium. Dan fungsi administratif ketua digantikan oleh sekretaris jenderal (sekjen) yang lebih fokus pada pengoptimalkan kinerja kepengurusan wilayah.
Dalam menjalankan tugasnya sebenarnya secara sederhana dapat dijabarkan Dewan presidium mengkoordinasikan perihal "dedikasi ke masyarakat", dan sekretaris jendral mengkoordinasikan "silaturahmi" dengan mengoptimalkan peran IAIC wilayah. Fungsi stretegsi ini kemudian dapat dikembangkan dengan terus mengembangkan peranannya secara optimal.
Kedua fungsional tersebut, dewan presidium dan sekretaris jenderal dan stafnya kita sebut badan eksekutif pusat dengan puncuk pimpinan tertinggi adalah dewan presidium.
IAIC juga memerlukan menjalankan fungsi kepanesehatan, yang terdiri dari beberapa elemen, diantaranya dewan kehormatan, dimana dewan kehormatan adalah anggota IAIC yang diangkat menjadi dewan kehormatan, baik karena perannya dalam IAIC ataupun sebab lain. Lalu dewan penasehat, dewan penasehat adalah individu2 diluar dewan kehormatan yang dirasa perlu dimintai atau dilibatkan dalam pengembangan IAIC dalam sebuah kepengurusan. Dan kemudian pihak yang terkahir sebagai penasehat adalah pihak almamater yang diwakili oleh pejabat terkait.
Restrukturisasi IAIC ini secara sederhana tidak akan mengalami perubahan signifikan, hanya perubahan dari sistem ketua menjadi sistem dewan. Akan tetapi bila mau melihat secara detail fungsi-fungsi dalam sebuah kepengurusan mampu bertambah luas, selain karena penambahan personel.
Satu hal lagi yang menjadikan ini perubahan signifikan, dewan presidium dapat dipilih lepas angkatan, artinya siapa saja dapat menjadi anggota presidium (berjumlah 5orang), asalkan disepakati oleh mubes IAIC, dan pengembangan IAIC tidak terpaku dengan keterbatasan satu orang ketua saja.
Akan tetapi perlu disadari bila uraian tersebut diatas harus kita pindahkan dalam bentuk uraian dalam AD/ART memerlukan kecermatan dalam mendeskripsikannya dalam bentuk pasal-pasal AD/ART, dan inilah yang kemudian dicoba dilakukan sebelum MUBES IV IAIC.

Yogyakarta, 30 Nopember 2006

--ABDULLAH ARIFIANTO
Site: [http://www.andoide.com/]
Blog: [ http://www.andocurhat.andoide.com/ ]
YM: [ eaton_gai ]

Rabu, 29 November 2006

MUBES IAIC

a step to make it (IAIC) forward

Komik Fantasista dan Go yang sering saya baca di asrama waktu itu, yang berceritakan tentang permainan sepakbola, mengilhami satu cerita kepada saya. Yaitu tentang filosofi permainan sepakbola itu sendiri, membawa bola itu kedepan, walau cuma satu langkah semua orang harus berusaha.

Lalu, kita bercerita tentang IAIC, bila setiap orang melihat dalam satu lapangan besar yang berisi keseluruhan pemain, dan semua berusaha memajukan bola walau hanya satu langkah kedepan, dan dengan melihat satu lapangan besar yang berisi keseluruhan pemain, setiap orang akan melihat sampai sejauh mana bola itu bergulir.

IAIC sekarang, berbeda dengan IAIC yang lampau, berbeda dengan IAIC yang dahulu dibentuk, berbeda dengan IAIC dua atau empat tahun yang lalu. Setiap kepengurusan IAIC memberikan warna dominan terhadap laju IAIC, apakah IAIC butuh Visi dan Misi Organisasi, atau biarkan hanya Visi dan Misi Kepengurusan, akan saya kupas pada kesempatan berikutnya..

IAIC sekarang adalah IAIC yang ingin lebih membuka dirinya ke dunia luar, memberikan manfaat yang sebesar-besar apa yang bisa dilakukannya, tanpa menghilangkan poin dasar dari IAIC itu sendiri, yakni tali silaturahmi.

Berangkat dari perubahan itu, ada dua poin yang digarisbawahi dan yang menjadi langkah yang mesti dikukuhkan terus pada IAIC dan anggotanya, yakni pengeratan tali silaturahmi dan dedikasi pada masyarakat luas.

Sampai kepengurusan ini (2004-2006) pengejewantahan dari dua poin diatas di diferensiasi (dibagi) pada struktur kepengurusan yang ada, yakni IAIC wilayah yang bertanggung jawab atas suksesnya pengejewantahan dari poin pertama, yaitu silaturahmi dan IAIC pusat yang bertanggung jawab atas pengejewantahan atas poin yang kedua, yakni dedikasi untuk masyarakat luas.

Masyarakat luas sendiri berdasarkan definisi AD/ART dan GBPK yang ada adalah, Agama, Bangsa, dan Insan Cendekia, dimana Insan Cendekia itu sendiri diartikan sebagai Pengembangan Sumber Daya Manusia atau yang lebih dekat yaitu dunia pendidikan.

Differensiasi IAIC ini hendaknya menjadi perhatian bagi kita semua, bahwa IAIC sudah memulai langkahnya untuk maju kedepan, dan saatnya untuk memajukannya lagi satu langkah kedepan. Semua pihak yang ada diwilayah dan berkontribusi melalui pusat hendaknya saling mengingatkan mana porsi besar yang harus kita lakukan pada setiap kegiatan yang ingin IAIC lakukan, poin silaturahmi atau poin dedikasi, lalu kemudian melihat dari wadah yang kita diami, atas nama wilayah atau atas nama pusat, yang menjadikan fokus kegiatan yang kita lakukan menjadi berbeda pula.

Perubahan yang signifikan kedua yang ada dalam IAIC adalah pemetaan SDM berdasarkan tahun kelulusannya dari Insan Cendekia. Dimana pembagian yang ada menjadikan aktifitas masing-masing anggota IAIC terkonsentrasi pada wilayah atau pusat, pada poin silaturahmi atau dedikasi.

Tahun pertama sampai ke tiga kelulusan menjadikan para alumni mengkonsentrasikan diri ke wilayah, artinya terfokus pada silaturahmi, main-main-dan main, becanda-becanda-dan becanda, rame-ramean, dll. Pada tahun ini observasi dan pematangan nilai-nilai silaturahmi harus digalakkan, kegagalan pematangan nilai silaturahmi oleh wilayah dan para anggota wilayah lainnya menjadikan porsi kegegalan IAIC untuk mendedikasikan dirinya ke masyarakat luas mengalami perlambatan yang tak perlu.

Tahun keempat dan seterusnya, menjadikan alumni lebih terkonsentrasi pada dedikasi tanpa batas ke masyarakat luas dan IAIC itu sendiri. Artinya keterbatasan akan mobilitas menjadikan pola pendedikasian ini harus terus diefisienkan dan mampu diakses semua pihak dalam IAIC.

Perubahan signifikan yang ketiga, penyesuaian struktur organisasi yang berimbas pada meluasnya kinerja pengurus yang menajdikannya memerlukan badan otonom untuk menjalankan fungsinya yang strategis, yakni pembentukan BSO, akan saya tuliskan pada kesempatan berikutnya. BSO yang dibentuk pada kepengurusan ini adalah, Koperasi IAIC, IAIC Learning Center (ILC), dan insyaallah Group Pecinta Alam IAIC yang akan diresmikan pada pendakian peradana pada ke gunung lawa, 8 desember 2006 mendatang.

Setiap BSO memiliki fungsi strategis yang akan membantu IAIC mewujudkan dua poin yang saya ungkapkan diatas. Koperasi IAIC yang mewakili Kemandirian, ILC yang mewakili Dedikasi Keilmuan dan Pecinta Alam yang mewakili Loyalitas Tinggi. Ketiga BSO ini kedepannya akan mengambil peranan penting dalam pengembangan IAIC dan anggotanya.

Tiga perubahan signifikan itu hendaknya menjadi perhatian bagi ita semua, sehingga bola yang sudah bergulir kedepan aharus dimajukan minimal dipertahankan, dan semua orang harus bertahan untuk tidak membuatnya bergulir kebelakang.

MUBES IAIC selain membawa IAIC selangkah lebih maju, juga sebagai momen membuat anggota IAIC maju dengan penggalian Informasi yang dilakukan para anggota saat MUBES berlangsung.

Inilah tema yang diusung pada MUBES IAIC ke-IV. One Step Ahead With.

Semoga MUBES kali ini memberikan manfaat yang sesuai dengan apa yang diharapkan dalam perencanaannya. Insyaallah.

Ketika semua orang sudah bertekad untuk maju, tak ada yang bisa menghalanginya, kecuali Tuhan.

Yogyakarta, 24 November 2006

--IAIC Learning Center [ ILC ]
ABDULLAH ARIFIANTO
Site: [http://www.andoide.com/]
Blog: [ http://www.andocurhat.andoide.com/ ]
YM: [ eaton_gai ]

Kamis, 10 Agustus 2006

MASIHKAH MEREKA BANGGA MENJADI WARGA AMERIKA SERIKAT?

oleh Maisya Farhati*
Manusia adalah binatang yang bermoral, dan
tidak ada tujuan politik dan ekonomi yang dapat terus bertahan
kecuali dilandasi oleh moral.
(Mark Blaug)

Amerika Serikat (AS) yang disebut-sebut sebagai Negara Adidaya memang benar-benar melambangkan sebuah kemapanan. Namun sayang, kemapanan itu hanya sebatas materi semata. Kemapanan ekonomi dan politik kemudian menjadi sesuatu yang agung di mata mereka yang (lagi-lagi) sayangnya berusaha diraih dengan menghalalkan segala cara.
AS memang arogan, banyak orang yang sudah menyadarinya. Banyak negara yang kontra Amerika namun di sisi lain negara-negara itu tetap manut pada negeri Paman Sam yang amat berkuasa itu. AS kerap muncul di tengah permasalahan dan urusan rumah tangga negara lain. AS kerap muncul dengan kedok memberi bantuan dan menegakkan keadilan dan perdamaian. AS berpura-pura muncul sebagai pahlawan. Memalukan!
Konflik Israel-Palestina yang kini merembet ke Libanon juga tak lepas dari peran dan dukungan AS. Pertanyaan kasar yang kemudian muncul adalah, Apakah mereka masih punya otak untuk membedakan mana yang benar dan salah?. Nampaknya keserakahan akan kehidupan dunia sudah merusak otak mereka sehingga benar-salah di mata mereka selalu berhubungan dengan untung-rugi yang mereka peroleh. Yang menguntungkan dianggap benar, sedangkan yang merugikan dianggap salah.
Sebenarnya, kita perlu merasa kasihan terhadap sikap AS tersebut. Negara Adidaya itu sejak dahulu memang telah disetir oleh kepentingan Bangsa Yahudi yang merupakan bangsanya orang-orang Israel. AS terus mendukung Israel karena mempunyai kepentingan ekonomi yang cukup signifikan. AS membutuhkan Israel yang pengaruhnya sangat kuat pada berbagai sentra-kapital seperti MNC (Multi National Corporation), TNC (Trans National Corporation), juga organisasi multilateral seperti WTO (World Trade Organization), IMF (international Monetary Fund), dan World Bank.

Secara terang-terangan, AS mendukung berbagai serangan biadab yang dilancarkan Israel ke Palestina dan Libanon. Padahal menurut jajak pendapat yang dilakukan di negara-negara Eropa, Israel dianggap sebagai ancaman terbesar bagi perdamaian dunia. Jika jajak pendapat serupa dilakukan di seluruh negara pun, hampir bisa dipastikan tetap menobatkan Israel sebagai pengacau sejati akan perdamaian dunia. Lalu, di mana AS yang dulu menggemakan perdamaian, hak asasi manusia, dan menjadi salah satu penggagas Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)? PBB pun sepertinya kini tinggal nama. PBB bukan milik dunia, melainkan milik AS dan segala keangkuhannya. PBB ada di bawah pengaruh AS dengan hak vetonya. Menyedihkan.

Sudah begitu banyak kebencian yang terpatri di kalangan dunia terhadap AS. Namun ternyata, kebencian itu tak hanya datang dari pihak luar, namun juga dari warga negara AS sendiri. Mereka tak hanya benci, tapi juga malu akan sikap negaranya yang sangat arogan dan seakan tak punya hati itu. Mereka benci pada pemerintah AS yang terus mendukung aksi kejam Israel. Mereka benci pada pemerintah AS yang mendukung dan melakukan pembunuhan dengan alasan membasmi terorisme. Makna terorisme itu sendiri patut kembali dipertanyakan. FBI mendefinisikan terorisme sebagai kekuatan yang tidak legal demi mencapai tujuan politik, sementara manusia yang tidak berdosa menjadi sasarannya. Sudahkah AS berpikir jernih, siapakah teroris yang sebenarnya?

Salah satu warga AS yang sangat gencar menyuarakan ketidaksetujuannya terhadap sikap pemerintah AS adalah Paul Craig Roberts, mantan wakil Menkeu dalam kabinet Ronald Reagan. Berikut salah satu tulisannya, seperti diberitakan oleh harian Republika edisi 7 Agustus 2006: Tahukah Anda, apakah itu musuh-musuh negara Yahudi? Mereka itu adalah warga Palestina, rakyat yang tanahnya dicuri negara Yahudi itu, yang rumah dan tanaman zaitunnya dihancur ratakan negara Yahudi itu, yang anak-anak mereka dibunuh di jalanan oleh serdadu negara Yahudi. Ketika negara Anda begitu melindungi negara Yahudi itu, masihkah Anda menyisakan kebanggaan untuknya?

Ya, masihkah warga AS bangga akan bangsanya itu? Masihkah mereka bangga akan negaranya yang membiarkan setiap detik bagi rakyat Palestina dan Libanon adalah jerit pilu dan tetesan darah? Masihkah?

*Mahasiswa Ilmu Ekonomi UGM
Anggota Redaksi Badan Penerbitan dan Pers Mahasiswa EQUILIBRIUM FE UGM
-The most important thing is not so much where we are, but in what direction we move-

Kamis, 22 Juni 2006

Pemisahan Agama

One grim Weltanschauung for this new era was well expressed by the Venetian nationalist demagogue in Michael Oibdin’s novel, Dead Lagoon: “ There can be no true friends without true enemist. Unless we hate what we are not, we cannot love what we are. These are the olds truths we are painfully rediscovering after a century and more of sentimental cant. Those who deny them deny their family, their heritage, their culture, their birthright, their very selves! (dikutip dari The Clash of Civilizations And the remaking of World Order, Samuel Huntington)

Sejarah Agama, mencatatkan sebuah pertempuran antar agama, tetapi ada satu yang tidak terusik yakni pertempuran didalam agama itu sendiri.

Sejarah yang tersirat menyebutkan upaya pembebasan intelektual dalam agama menyisakan banyak korban, dan yang salah satunya adalah pertentangan antar para intelektual dengan gereja tentang tuhan, yang kemudian menjadi pihak yang tidak beragama dan tidak beragama, yang kemudian menjadi salah satu pihak yang dikafirkan dengan hukuman pancung di …..

Yang padanya sejarah mencatatkan intelektual-intelektual pengusung renaissance sebagai seorang atheis bahkan kafir. Ketidakpuasan terhadap gereja pun (monopoli gereja memberikan pengampuan atas pengakuan dosa) memberikan gelombang besar atas munculnya Kristen protestan. Sejarah yang sedemikian besar ini menjadi kabur, yang dikarenakan entah salah siapa, tetapi yang jelas inilah sebuah pelajaran sejarah terhadap penahanan dinamisasi agama dalam jiwa manusia yang kompleks dan dinamis.

Tidak pernah ada pemaksaan agama dalam agama manapun, yang menjadikan setiap manusia bebas mengekspresikan keimanannya sendiri tanpa melibatkan atau memaksakan pada orang lain, yang dilihat dari kacamata orang kedua sebagai bentuk dari penyesatan.

Sejarah eropa yang sedemikian kelam itu, hingga menutupi semua jalan menuju kemajuan dengan dalih kekuasaan yang dimonopoli oleh sebagian kecil manusia, dan perangkat keagamaan (gereja red.) menjadi salah satu alatnya, adalah salah satu babak sejarah yang tidak memberikan kemajuan apapun, hingga heliosentris menjadi awal yang mencoba menggugatnya.

Penciptaan daerah koloni-koloni baru bangsa eropa, yang terbesar di amerika menjadi bukti salah satu bentuk pelarian terhadap kebebasan beragama yang tidak terikat dengan pihak gereja. Dengan kata lain, dunia baru itu adalah sebuah pengasingan atau ketidakterikatan dengan gereja.

Sejarah kelam eropa itulah yang menjadi awal perkembangan keilmuan yang global ini, pengalaman pahit untuk menyatukan agama dengan kebebasan berfikir telah menjadikan upaya ini menjadi salah satu opsi yang berusaha ditinggalkan puluhan generasi, hingga perlahan sejarah itu hanya menjadi cerita yang menarik untuk ditonton tanpa merasakan petualangan dalam kisahnya.

Internasionalisasi dalam keilmuan menciptakan sebuah paradoks kompleks yang tidak terpecahkan. Dan sayangnya sejarah tidak memberikan pelajaran untuk tidak mengeneralisasi latar belakang keilmuan yang berkembang. Keilmuan global yang berkembang dewasa ini tidak memberikan tempat bagi agama dan tuhan kecuali dalam hati manusia itu sendiri.

Kebebasan berfikir tidak didasari oleh peraturan-peraturan dasar agama atau keyakinan spiritual, tetapi lebih pada pelepasan terhadap faktor-faktor imajiner yang berupa nilai-nilai ketauhidan. Semua teori keilmuan dewasa ini tidak memberikan tempat bagi agama, kecuali memaksakan agama masuk dalam sebuah perhitungan yang matematis, absolut, atau dalam keadaan ideal-statis, agar bisa dipegunakan sebagai faktor real.

Dinamisasi agama pada akhirnya hanya diemban oleh ortodonsi terhadap sebuah keyakinan yang sakral, yang sebenarnya juga mengekang dinamisasi. Agama yang sebenarnya memberikan sebuah ladang besar tentang memanfaatkan akal fikiran manusia untuk berkembang.

Poin-poin utama tentang Human Rigths didapatkan dari ajaran agama, perjuangan penegakan hak asasi manusia selalu didapatkan dari bias spiritual agama dalam diri seseorang. Akan tetapi mewujudkan itu dalam tatanan formal, menjadi kendala, hukum-hukum positif yang berkembang dan menjadi kebijakan landasan hukum adalah hukum yang menyingkirkan nilai-nilai non-materi yang hanya menyisakan determinasi hakim untuk memutuskan perkara secara irrasional obyektif, sehingga hakim yang seperti itu pun terpaksa terkucil dalam dunia formal.

Penegakan hukum dengan dalih nilai-nilai moral menjadi porsi yang kesekian dibanding perkara pidana-perdata tentang pengrusakan hak milik dan melawan hukum.

Artinya bila konstruksi ini pemikiran ini tidak diperbaiki secara totalitas, bertahap dan periodik maka determinasi individu dalam satu periode kehidupan tidak akan mampu bertahan lama untuk periode-periode berikutnya. Dalam tatanan realitas hukum formal ini yang akan menjadi agama dasar bagi manusia, dan bila ini terjadi, agama akan hilang, porsi-porsi penegakan hak asasi akan hilang, barbarisme klasik akan terulang dengan mengatasnamakan hukum yang statis dengan dalih konsistensi.

Pemisahan agama menjadi sebuah tindakan yang tidak disengaja, yang timbul dari upaya penstatisan agama dalam tataran praktis yang menutup pintu ijtihad dan memberikan ruang untuk timbulnya pemanfaatan dari celah tersebut.

Budaya yang terkandung didalamnya paganisme, khusus diindonesia, yang belum bisa berasimilasi sempurna dengan agama menjadi alasan membedakan budaya dan agama.

Penguasaan individu terhadap individu lainnya lahirnya dari adanya celah yang diberikan oleh hukum formal yang statis, bila upaya formalisasi agama dilakukan, maka dengan tidak sengaja upaya dinamisasi yang mendasari setiap pergerakan kompleksitas manusia akan terstatisasi, dan itu artinya mencoba mereduksi dinamisasi agama, yang artinya pula menghilangkan agama.

Abdullah Arifianto
IAIC Learning Center

Sabtu, 03 Juni 2006

Bukan Demokrasi Kita

Entah sejak kapan saya tidak percaya dengan Demokrasi, pembelajaran tentang demokrasi terus menerus menjadi sebuah pertentangan batin yang belum mendapat titik terangnya, hingga sebuah intuisi mendatangi saya.

Demokrasi yang berada di sebagian besar belahan dunia ternyata berbeda dengan Demokrasi yang dianut oleh Indonesia, dan upaya perubahan stigma Demokrasi ini tidak terlihat dan sangat halus, dengan upaya memberikan sebuah konsep internasionalisasi, yang justru sedikit demi sedikit mengeroposi demokrasi yang menjadi nafas Bangsa Indonesia.

Kedaulatan Rakyat, yang kini disebut Demokrasi Pancasila, yang menurut saya pribadi penamaannya sebagai varian dari demokrasi justru memblurkan dan meminta perbandingan dengan Demokrasi yang ada. Stigma Demokrasi secara umum memberikan sebuah kolektif bargaining terhadap politik dan di sisi lain memberikan personal bargaining dalam bidang-bidang lain seperti ekonomi, sedangkan Kedaulatan Rakyat memberikan sebuah batasan antara kolektif dan personal bargaining dengan interaksinya, dimana personal bargaining harus mampu menjamin pertumbuhan kolektif bargaining dan begitu juga sebaliknya.

Kedaulatan Rakyat, mengambil posisi diantara demokrasi dan sosialisme, mengambil sebuah posisi menjamin hak-hak rakyat dalam politik dan dalam pendistribusian kesejahteraan.
Lalu, sampai disini, dengan makin terbukanya Indonesia dengan dunia luar, apakah kita sadar bahwa demokrasi bukan atau sama sekali tidak pernah menjadi budaya kita, antara demokrasi dan sosialisme disanalah kedaulatan rakyat berada.

Upaya-upaya pengajaran baik yang kasar, seperti revolusi irak dengan penjajahan amerika dengan dalih terorisme, dan upaya pengajaran yang halus yang dialami oleh Indonesia, harus diwaspadai sedini mungkin. Upaya baik negara adikuasa ini suatu saat akan menjadi bumerang bagi Indonesia, khususnya kepada pemahaman rakyatnya, yang mengagungkan internasionalitas.

Tetapi, ada kabar baiknya, upaya menjamin kedaulatan rakyat dalam politik bisa dipelajari dari demokrasi, sedangkan upaya menjamin kedaulatan rakyat dalam kesejahteraan dapat dipelajari dari sosialisme. Dan jika ingin menjamin keduanya, pelajari demokrasi kita, kedaulatan rakyat. Tantangan untuk pemikir Indonesia, untuk merealisasikannya.

Abdullah Arifianto

Jumat, 02 Juni 2006

ROKOK, Ugh!!

Suasana di dalam kereta Senja Utama jurusan Yogyakarta-Jakarta malam itu terasa cukup sesak. Maklum lah, bukan kereta eksekutif… Di setiap pemberhentian di stasiun-stasiun tertentu, pasti saja kereta diramaikan oleh kehadiran berbagai pedagang yang berjejalan masuk ke dalam kereta. Suasana yang tidak terlalu nyaman itu juga dilengkapi oleh asap rokok yang berkeliaran di udara. Ugh!!
Itu bukan kali pertama penulis mengalami hal demikian. Kejadian serupa juga sering ditemui di tempat umum lainnya seperti bis, pusat perbelanjaan, bahkan di lingkungan kampus. Banyak orang yang merokok di tempat umum dan, secara sadar ataupun tidak, telah menjadikan orang lain sebagai perokok pasif yang bahayanya tidak kalah dari perokok aktif. Mungkin ada sebagian orang yang menganggap hal ini biasa saja, namun banyak pula yang sangat merasa terganggu karenanya.
Rokok yang bahan dasarnya berasal dari daun tembakau ini mengandung bahan penyebab kanker seperti arsen, benzena, kadmium, hidrogen sianida, dan toluen. Bahan tersebut juga menyebabkan efek negatif seperti asma, insomnia, batuk kering, penyakit paru-paru, dan impotensi. (Ensiklopedi untuk Umum dan Pelajar)
Berbicara tentang rokok, memang sudah sejak lama menjadi masalah yang dilematis. Ada dua kepentingan yang bersifat saling antagonis antara kesehatan dan ekonomi. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan konsumsi tembakau menjadi penyebab utama meningkatnya angka kematian. Sejak tahun 1990 hingga 2000, angka kematian naik sampai dengan 7,9%. Selain itu, menurut Deputi Menko Kesra Bidang Koordinasi Kesehatan dan Lingkungan Hidup, HM Sukawati Abubakar, pada abad ke-20, 100 juta penduduk dunia meninggal dunia karena rokok.
Ketika banyak pihak berkampanye anti rokok, pada saat yang sama para produsen rokok juga gencar melakukan promosi akan produk mereka. Lihat saja di televisi, media cetak, maupun di papan-papan reklame, para produsen rokok berlomba-lomba menampilkan iklan seatraktif mungkin. Dan patut kita akui bahwa iklan-iklan tersebut memang cukup menarik dan ‘menyentil’ pihak-pihak tertentu. Sebut saja A Mild yang terkenal dengan berbagai iklan versi ‘Tanya Kenapa’.
Konsumen rokok pun sepertinya tak peduli dengan imbauan pada setiap iklan produk rokok. Kata-kata Merokok dapat menyebabkan penyakit jantung, kanker,dstsepertinya hanya angin lalu bagi mereka. Staf ahli Menteri Kesehatan Bidang Kelembagaan dan Desentralisasi, Dwijo Susono, menyebutkan bahwa saat ini sekitar 70% penduduk Indonesia tergolong perokok aktif. Kondisi ini menempatkan Indonesia pada posisi ke lima negara konsumen tembakau setelah Cina, Amerika Serikat, Rusia, dan Jepang. (Republika, 1 Juni 2006)
Bagaimanapun, bahaya rokok tidak akan hilang selama barang tersebut memang masih legal dijual di pasaran dan dapat diperoleh dengan mudah oleh konsumen. Jika tidak terbentur masalah ekonomi, dengan mudahnya masalah ini dapat ditanggulangi dengan menilik sampai ke akar permasalahan, yaitu menutup pabrik rokok. Namun, sudah menjadi wacana klasik bahwa pabrik rokok memberikan sumbangan yang cukup besar bagi negara dan membuka lapangan kerja bagi banyak orang. Rata-rata pendapatan negara dari cukai rokok per tahunnya adalah Rp27 triliun. Dilihat dari angka tersebut, tentunya bukan perkara mudah bagi pemerintah untuk menutup pabrik-pabrik rokok. Tapi, sepertinya pemerintah lupa bahwa dana (yang dibutuhkan) untuk menanggulangi penyakit akibat tembakau mencapai Rp81 triliun per tahun. Jadi, apakah keberadaan rokok masih menguntungkan?
Tanpa tergantung wacana klasik antara sisi kesehatan dan ekonomis yang sudah dipaparkan di atas, Anda bisa menimbang suatu hal dari sisi positif dan negatifnya, atau dalam istilah ekonomi dikenal sebagai cost benefit ratio. Apakah keuntungan/manfaat yang didapat (sebagai individu) dengan mengkonsumsi rokok itu lebih besar daripada biaya yang mesti dikeluarkan. Karena jika penulis amati, sebenarnya mereka yag merokok itu tidak mendapatkan value added yang esensial. Misalnya hanya untuk menghilangkan kebosanan atau “temen nongkrong”, seperti yang diungkapkan oleh rekan penulis, seorang mahasiswa Perguruan Tinggi Negeri di Bandung. Apakah mereka rela mengorbankan nyawa merekahanya untuk kesenangan sesaat? Tetapi ada pula orang yang memang—katanya—tidak bisa bekerja tanpa ditemani rokok. Dalam pandangan subjektif penulis, itu hanyalah alasan yang dipaksakan. Toh itu adalah kebiasaan yang bisa saja dihilangkan jika orang tersebut mau berusaha dengan sungguh-sungguh.
Pada akhirnya, keputusan ada di tangan masing-masing individu. Jika keputusan akhir Anda adalah tetap memilih mengkonsumsi rokok, itu hak Anda. Namun, harus Anda ingat bahwa orang lain pun mempunyai hak untuk menghirup udara bersih tanpa asap rokok.

Maisya Farhati
Jurusan Ilmu Ekonomi
Fakultas Ekonomi, UGM

Rabu, 03 Mei 2006

Emansipasi Perempuan Indonesia

“..Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf….” (Al-Baqarah 228)

Kami disini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak-anak perempuan, bukan sekali-sekali karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya. Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam (sunnatullah) sendiri ke dalam tangannya; menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama. (Surat Kartini Kepada Prof. Anton dan Nyonya, 4 Oktober 1902)


Disaat deru zaman terus melaju, dan setiap pergerakan peradaban selalu bersiklus dalam sebuah lingkaran besar yang serupa. Kejadian-kejadian yang berulang, bersisa hanya meninggalkan kesan tapi tidak pernah rasa.

Emansipasi, diperjuangkan mengatasnamakan ketidakadilan dan perlakuan semena-mena terhadap perempuan. Tapi membagi dan memisahkan emansipasi dalam sebuah obyek yang berdiri sendiri justru menimbulkan ketidakadilan yang justru akan semakin mempertajam kesenjangan keadilan yang diperjuangkan emansipasi.

Pembelaan terhadap kaum wanita yang diajukan secara parsial, dalam artian penanggulangannya sebagai satu obyek yang terpisah, hanya akan menimbulkan kesenjangan-kesenjangan lain, yang justru akan terus membenamkan pembelaan terhadap perempuan. Mengapa begitu?

Ketidakadilan selalu berada diantara dua wilayah, perut dan bawah perut. Antara lapar dan nafsu, yang selalu dipicu oleh dua hal, yakni kebodohan dan kemiskinan. Dua hal yang saling bersimbiosis dan tidak terpisahkan satu sama lainnya. Kemiskinan dan kebodohan saling mendukung satu sama lain untuk mendominasi terjadinya ketidakadilan.

Kebodohan menyebabkan ketidakadilan dimana adanya pembodohan, dan manipulasi pragmatis opurtunis pada satu pihak yang kelak akan menimbulkan ketidakadilan. Kemiskinan menyebabkan ketidakadilan dalam kebebasan berkehendak untuk membuat sebuah keputusan baik mengenai dirinya yang bersifat personal ataupun dalam skala publik.

Emansipasi adalah salah satu bentuk upaya memproporsikan keadilan dengan pemfokusan pada obyek tertentu, yakni wanita. Akan tetapi selama upaya-upaya ini hanya dan bahkan terlalu terfokus pada obyek tertentu, maka hal ini yang kelak akan menimbulkan kesenjangan baru yang kelak akan menciptakan ketidakadilan baru pula.

Emansipasi wanita adalah langkah positif selama dalam koridor yang seharusnya dan tidak berlebihan seperti usaha kartini membela kaum perempuan yang kelak menjadi kaum wanita. Sedangkan upaya-upaya yang berusaha melewati apa yang tidak harus dalam koridornya hanya akan menimbulkan permasalahan serupa yang tidak akan lebih besar manfaatnya dari ketidakadilan itu sendiri.

Emansipasi perempuan yang terus digalakkan tanpa menyadari porsi ketidakadilan yang juga bisa diperbuat individu perempuan tersebut adalah hal-hal yang justru lebih menjadikan emansipasi kehilangan maknanya, dan hanya menjadi tidak lebih dari sebuah simbol.

Emansipasi perempuan Indonesia terbukti belum bisa mereduksi tingginya angka kelaparan, anak-anak putus sekolah, rendahnya kualitas SDM, dan lain sebagainya. Dan ini pula yang menyebabkan emansipasi selalu tidak bisa diperjuangkan parsial seorang diri.

Segala bentuk ketidakadilan harus diproporsikan sejajar dengan ketidakadilan-ketidakadilan yang lain tanpa memandang subyek ataupun obyeknya. Sehingga semua pihak memiliki andil untuk menentukan sejauh mana emansipasi ini berjalan tanpa harus keluar dari koridornya, memposisikan perempuan sebagai cikal bakal pendidik utama SDM Indonesia, Ibu.

Abdullah Arifianto

Minggu, 23 April 2006

Perempuan

Merdeka Melaksanakan Dharma. Itulah semboyan pada lambang Hari Ibu, yang mengandung arti dengan tercapainya persamaan kedudukan, hak dan kewajiban dengan kaum laki-laki sebagai mitra sejajar, darma bakti laki-laki dan perempuan Indonesia kepada keluarga, masyarakat, bangsa dan negara dapat diwujudkan sepenuhnya. Hari yang diperingati tiap tanggal 22 Desember berdasarkan Kongres III Perempoean tahun 1938 tersebut telah menjadi hari nasional, namun selain menjadi bagian dari rutinitas tahunan, hal apa yang bisa kita peroleh?

Jawabannya bisa berbeda-beda. Meski demikian, jika ditilik dari fenomena sosial, dampak hari Ibu terlihat dari meningkatnya tulisan-tulisan, iklan layanan masyarakat hingga iklan komersil yang mengangkat perempuan. Sudut yang digunakan beragam, mulai dari kampanye kesetaraan gender, meningkatkan kesadaran masyarakat akan ancaman trafficking, serta iklan yang menggunakan momen hari Ibu untuk mempromosikan produknya.

Perempuan senantiasa menjadi perbincangan hangat. Mulai dari masalah mode, gosip, masak hingga yang menyangkut wilayah publik. Wacana mengenai kehidupan perempuan yang ideal memang tak pernah surut. Hal ini terkait langsung dengan posisi perempuan sebelum tahun 1990-an yang mayoritas berkutat pada masalah domestik dan jabatan-jabatan sekunder dalam dunia kerja.

Dalam Megatrends 2000, Naisbitt menyebutkan bahwa perempuan telah mencapai massa kritis di hampir semua profesi pekerja kantor, khususnya di dalam perusahaan. Namun pada tahun 1990, tempat kerja adalah dunia yang sangat berbeda. Sejak tahun 1972 hingga 1990, presentase perempuan yang menjadi dokter naik dua kali lipat. Perempuan menguasai sekitar 39,3 persen dari 14,2 juta pekerjaan eksekutif, administratif dan manajemen, menurut Biro Statistik Tenaga Kerja(Amerika Serikat-penulis), meningkat hampir dua kali lipat angka tahun 1972.

Pergeseran posisi perempuan dari domestik ke sektor publik berimplikasi langsung pada wacana mengenai pembelaan hak-hak perempuan. Di Indonesia, pengaruh gerakan pembela perempuan misalnya, telah membuahkan UU-Anti KDRT yang mengatur mengenai kekerasan dalam rumah tangga. Perjuangan perempuan memperoleh hak-haknya juga telah menciptakan sebuah persaudaran tersendiri diantara perempuan dari berbagai kalangan.

Lalu bagaimana Islam memandang perempuan? Jika ditilik dari sejarah, Islam merupakan salah satu titik balik kedudukan perempuan. Pada masa jahiliyah, pra-Islam, perempuan hanya dijadikan sebagai komoditas yang dapat diperjualbelikan dan diberikan sebagai hadiah. Selain itu posisinya dianggap sangat rendah sehingga ketika ada yang melahirkan bayi perempuan, bayi yang baru saja merasakan kehidupan dunia tersebut langsung dikubur hidup-hidup.

Cara pandang perempuan sebagai masyarakat kelas dua, tidak hanya terjadi di wilayah Arab pra-Islam, melainkan telah berjalan selama ratusan tahun. Dalam Undang-undang Manu misalnya, disebutkan bahwa perempuan sepanjang hidupnya tidak pernah memiliki hak-haknya sendiri dalam melakukan segala tindakan yang diinginkannya sehingga dalam urusan domestik pun mereka tidak diberi kesempatan. Baru ketika Islam datang, perempuan diangkat derajatnya dan diberi penjagaan khusus agar mampu melindungi keistimewaan yang ada pada dirinya.

Pertanyaan yang sering muncul mengenai posisi perempuan Islam adalah ketika posisi tersebut dikaitkan hak dan kewajiban dengan kaum laki-laki. Namun mungkinkah segala perbedaan mulai dari fisik hingga mental dapat disamakan begitu saja? Dalam buku Emansipasi, Adakah dalam Islam, perbedaan kewajiban perempuan dan laki-laki disebabkan oleh jenis manusia yang memiliki tabi’at dan sifat kemanusiaan yang berbeda satu dengan yang lainnya. Sehingga penanganannya pun harus dikhususkan untuk setiap jenis, tidak bisa sekadar generalisasi sebagai manusia.

Adanya perbedaan dalam hak dan kewajiban antara perempuan dan laki-laki seperti busana tertutup bagi perempuan, hak waris pria yang lebih besar, posisi perempuan dalam persaksian, kepatuhan seorang perempuan pada suaminya dll nyatanya tidak menghambat perempuan untuk beraktivitas. Hal ini terlihat dari peranan Khadijah dalam dunia perekonomian, Aisyah berperan besar dalam periwayatan hadits, Fathimah yang dengan kesabaran dan sikap zuhudnya memberi peneladanan terhadap bagaimana bersikap kepada orang yang tidak mampu, meski dirinya sendiri berada dalam kondisi kekurangan.

Kekhususan yang ada pada diri perempuan ini sayangnya seringkali tergadaikan oleh kurangnya pemahaman antara hak dan perlindungan. Perempuan yang sejatinya indah bagai perhiasan, seringkali terperangkap dalam komoditas barang hiburan. Ketika posisi perempuan hanya ditempatkan sebagai sebuah materi yang bisa dipandang secara bebas, maka materi itu harganya akan jatuh sebagaimana yang diungkapkan oleh aktris terkenal dari Rio De Jenairo, Floranda Balkan kepada majalah Rabithah ‘Alam Islami(Februari 1977, h.58), “Masyarakat saat ini selalu menuntut mode dan hidup dengan mode tersebut. Aku tak sudi menuruti mode. Aku ingin menjadi wanita, bukan sebagai benda… Sesungguhnya aktivitas-aktivitas yang mengjengkelkan saat ini adalah apa yang menamakan diri sebagai “gerakan kebebasan wanita.” Padahal gerakan-gerakan semacam itu tak akan berhasil mengubah suatu kenyataan. Laki-laki selamanya tetap laki-laki; dan wanita selamanya tetap wanita…”

Berbicara mengenai kondisi perempuan sekarang memang masih jauh dari ideal. Affirmative action(kebijakan untuk memberikan keringanan atau jatah bagi golongan-golongan yang termarjinalkan, seperti perempuan, petani, buruh, nelayan dll) menjadi sebuah kontradiksi tersendiri. Bukankah pemberian jatah tersebut merupakan suatu bukti bahwa perempuan(dan golongan termarjinalkan lainnya) memang tidak mampu bersaing secara adil dengan laki-laki? Jika dilihat secara langsung, maka jawabannya adalah ya. Namun jika kita mau melihatnya sebagai sebuah bagian dari perjalanan sejarah, maka kondisi perempuan untuk berkiprah di dunia politik(salah satu penerapan affirmative action ini adalah dengan pemberian kuota 30% di dewan legislatif bagi perempuan pada pemilu silam), pendidikan, pekerjaan dan dalam kehidupan masyarakat lainnya memerlukan usaha lebih. Hal ini disebabkan oleh masih adanya anggapan ditengah masyarakat yang berpendapat bahwa perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, tidak perlu bekerja di luar rumah dll. Anggapan-anggapan inilah yang menghambat kemajuan perempuan dan untuk merubahnya diperlukan sebuah penyikapan khusus.

Ketika kita mempertanyakan(bahkan menuntut) kesetaraan perempuan dan laki-laki dalam Islam, kita harus mendefinisikan kembali kesetaraan seperti apa yang dimaksud. Karena sejarah umat muslim sendiri dihiasi kisah-kisah kehebatan perempuan yang berkiprah di wilayah publik. Apakah kesetaraan untuk berkiprah di sektor publik, hak untuk memperoleh perlindungan terhadap kekerasaan, atau kesetaraan-kesetaraan yang malah merendahkan harkat dan martabat perempuan itu sendiri? (yuti)

Yuti Ariani

Jumat, 14 April 2006

Insan Cendekia

Insan-insan yang datang dari tempat yg saling berjauhan
Dengan latar warna yang tak serupa
Membawa sejuta cerita berbeda

Masing-masing punya rasa sendiri
Mengapa mereka terdampar di sini
Bahagia, sesal, kecewa
Adalah hal biasa dalam menerima sebuah awal

Terjatuh dan berjalan tertatih
Pernah menjadi bagian dari lembaran kisah
Semangat, doa, dan saling menguatkan
Adalah penawar bagi rasa lelah yg bertahta

Banyak hal yang menyadarkan
Bahwa kebersamaan adalah perhiasan jiwa
Bahwa persahabatan menjadi pengikat cinta
Seperti bintang-bintang yang setia menjaga langit kita

Masa yang terus terlewati
Mimpi-mimpi yang lahir dari setiap kita
Jangan biarkan mengendap dan terlupa
Masa depan adalah cita yang kan digapai bersama

Hingga pada waktu penghabisan
Kita dapat memaknai semua realita
Kita dapat memahami jalan yg tlah Tuhan pilihkan
Kita dapat mensyukuri suatu anugerah yang indah
Tuk menjadi insan-insan cendekia…


Yogyakarta,,,
malam ke 14 Ramadhan 1426 H
17 Oktober 2005

Maisya Farhati
ketika rindu hadir di jiwa *Tuk segenap Insan Cendekia. Di manapun berada!!!

Kontroversi UU Ketenagakerjaan

Akhir-akhir ini, demonstrasi para buruh banyak mewarnai jalan-jalan di perkotaan maupun gedung-gedung perwakilan rakyat di berbagai daerah di Indonesia. Aksi mereka itu tak lain merupakan sebuah respon atas rancangan revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan (UUK) yang dinilai merugikan pihak buruh.
Seperti kebijakan-kebijakan nonpopuler yang sebelumnya pernah dikeluarkan, tentu kali ini pun pemerintah memiliki argumen sendiri untuk menguatkan rencana tersebut. Pemerintah menyebut-nyebut perbaikan iklim investasilah sebagai alasan utamanya. Dengan direvisinya undang-undang tersebut, diharapkan investor lebih tertarik lagi menanamkan modalnya di Indonesia. Dan jika investasi meningkat, lapangan kerja baru akan bertambah sehingga pengangguran dapat berkurang.

Rendahnya Produktivitas
Kembali ke persoalan semula, pemerintah berencana merevisi Undang-Undang Ketenagakerjaan ini tujuannya untuk mewujudkan tiga hal: menciptakan iklim hubungan industrial yang mendukung perluasan lapangan kerja, menyederhanakan penyelesaian berbagai perselisihan hubungan industrial, dan mempercepat proses penerbitan perizinan ketenagakerjaan.
Belakangan ini, pemerintah memang sedang gencar-gencarnya membuka kesempatan besar bagi para investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Hal ini dilakukan seiring menurunnya tingkat investasi karena para investor menilai kondisi Indonesia kurang ramah untuk berinvestasi. Sebut saja Nike dan Sony, dua perusahaan besar yang telah menutup perusahaannya di Indonesia. Apakah gerangan yang menjadi penyebabnya?
Kebanyakan investor mempermasalahkan rendahnya kinerja para pekerja di Indonesia. Produktivitas mereka bisa dibilang kurang memuaskan dibandingkan para pekerja di negara Asia lain seperti Vietnam dan Cina. Selain itu, para investor juga menganggap selama ini para pekerja Indonesia terlalu banyak menuntut namun tidak memberikan kontribusi yang cukup seimbang bagi perusahaan.
Karena redupnya minat investasi itulah pemerintah berusaha menggiatkan kembali sektor riil di Indonesia dan memperluas kesempatan kerja, salah satunya dengan merevisi UUK tersebut.

Tidak Pro Pekerja
Kalau ditengok lebih lanjut, revisi UU nomor 13/2003 ini secara langsung menyangkut kepentingan tiga pihak, yakni pengusaha, para pekerja, dan para pencari kerja. Di sinilah terdapat benturan kepentingan satu sama lain. Dilihat dari sisi pengusaha, revisi UUK akan mengurangi beban mereka sehingga volume investasi dapat meningkat. Bagi para pencari kerja, hal ini akan membuka kesempatan baru bagi mereka untuk dapat bekerja.
Namun yang kini menjadi persoalan adalah nasib para pekerja. Mereka merasa dirugikan karena banyak hak mereka yang akan berkurang, bahkan dihilangkan. Pasal-pasal dalam revisi UUK tersebut dirasa lebih berpihak pada pengusaha. Hal yang paling mencolok dalam revisi itu antara lain mengenai upah, pesangon, sistem kontrak, dan perlindungan kesejahteraan, keselamatan, dan kesehatan.
“Pekerja tetap akan mendapat pesangon, uang pensiun juga tetap dibayarkan. Jadi sebenarnya tidak ada hak pekerja yang dihilangkan,” ujar ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Sofjan Wanandi. Sebuah pembelaan muncul ketika ia mengatakan bahwa hak pekerja tidak dihilangkan. Memang benar bahwa tidak seluruhnya hak-hak itu dihilangkan, namun pada kenyataannya adalah hak pekerja sangat banyak direduksi.
Kita ambil contoh pasal 35 ayat 3 yang berisi, “Perlindungan yang mencakup kesejahteraan, keselamatan, dan kesehatan baik mental maupun fisik tenaga kerja”, rencananya akan dihapuskan. Sungguh mengecewakan apabila pemerintah mengorbankan kesejahteraan rakyatnya sendiri dengan mengatasnamakan peningkatan investasi.
Selain itu, masalah yang cukup meresahkan buruh adalah tentang sistem kontrak. Dengan sistem ini, apabila kontak kerja seorang pekerja adalah lima tahun dan setelah jangka waktu tersebut tidak ada perpanjangan, maka pekerja tersebut berhenti bekerja di perusahaan yang bersangkutan tanpa memperoleh pesangon. Tentu saja bagi para pekerja hal ini memunculkan suatu kekhawatiran baru.
Menurut Revrisond Baswir (ekonom dan dosen FE UGM) dalam sebuah seminar di Pusat Studi Ekonomi Pancasila UGM, revisi UUK pada dasarnya memang meminta pengorbanan para pekerja, walaupun hal itu dilatarbelakangi oleh niat untuk memperluas lapangan kerja. “Namun hal itu tidak berarti tidak ada pertanyaan yang tersisa,” ujarnya. Pertanyaan itu adalah: apakah memang revisi UUK ini merupakan satu-satunya jalan untuk mencerahkan kembali iklim investasi di Indonesia?

Menguntungkan Pengusaha dan Tidak merugikan Pekerja
Hasil survei World Economic Forum (WEF) menyebutkan bahwa peraturan ketenagakerjaan ternyata hanya menempati urutan ke tujuh sebagai kendala investasi di Indonesia. Enam alasan lainnya adalah inefisiensi birokrasi, infrastruktur yang tidak memadai, peraturan perpajakan, korupsi, kualitas sumber daya manusia, dan instabilitas kebijakan.
Maka pertanyaan yang selanjutya muncul adalah sudah sejauh mana pemerintah mengusahakan perbaikan bagi enam kendala investasi di atas?
Kita ambil contoh korupsi. Sudah seberapa banyak negara kita dirugikan karena suatu hal bernama korupsi, pastinya sudah tak terhitung. Begitu banyak. Dan pemerintah seharusnya semakin gencar memerangi hal yang krusial ini. Jika pemerintah konsen pada satu hal ini saja, pengaruhnya akan sangat berarti.
Kepala Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan UGM, Susetiawan, menyatakan, “Ditekannya pembiayaan harga buruh kemungkinan besar adalah ketidakmampuan negara untuk mengatasi berbagai macam bentuk KKN yang mengakibatkan biaya produksi tinggi.”
Ada baiknya pemerintah membenahi faktor-faktor yang menjadi kendala investasi yang lebih utama daripada masalah peraturan ketenagakerjaan. Karena seharusnya substansi yang tidak boleh hilang dari peraturan tersebut salah satunya adalah perlindungan bagi tenaga kerja itu sendiri. Jangan sampai ketidakmampuan pemerintah memberantas korupsi ataupun memperbaiki struktur birokrasi misalnya, menyebabkan ekonomi biaya tinggi dan pada akhirnya mengharuskan masyarakat ikut memikul konsekuensinya.
Juga merupakan sesuatu yang bijak apabila para pekerja senantiasa meningkatkan produktivitas kerja dan menyeimbangkannya dengan tuntutan yang diajukan kepada perusahaan. Dan sebisa mungkin jika ada suatu tuntutan terhadap perusahaan, mereka melakukan negosiasi terlebih dahulu. Mereka perlu memikirkan waktu yang telah mereka habiskan untuk berdemo menyebabkan produktivitas perusahaan menurun, dan pada akhirnya jika dilihat secara makro, memperlambat pertumbuhan ekonomi negara.

Maisya Farhati
Mahasiswa Fakultas Ekonomi UGM
Jurusan Ilmu Ekonomi

Jumat, 07 April 2006

Jangan Pergi Papua

Ketimpangan bukanlah sebuah hal baru yang kerap mampir di telinga kita, bangsa Indonesia. Sudah lama hal ini menjadi masalah yang hingga kini belum juga usai. Kesenjangan mewarnai banyak bidang kehidupan sosial dan ekonomi di masyarakat. Masalah ini tentunya tak bisa dipisahkan dengan keadilan. Ketika seseorang atau suatu kelompok merasa tidak mendapatkan keadilan, akankah mereka terus berdiam diri?

Di tengah kemelut bangsa yang kini melanda, masalah Papua adalah salah satu hal yang perlu mendapat perhatian. Daerah timur Indonesia ini seakan tak pernah lepas dari problematika. Dari mulai kasus gizi buruk, Freeport, sampai beberapa penduduknya yang mencari suaka ke negeri tetangga, Australia. Dalam situasi yang jauh dari sesuatu bernama kesejahteraan dan keadilan, tak heran bila gerakan separatis pun muncul ke permukaan.

Sejak tahun 1971 PT Freeport masuk Papua dan membuka tambang Erstberg. Sejak tahun 1971 itulah warga aslinya, suku Amugme, dipindahkan dari wilayah mereka ke wilayah kaki pegunungan. Tahun 1972, Freeport melakukan ekspor perdana konsentrat tembaga. Karena saat itu USA sedang gencar berperang dengan Vietnam, harga tembaga melangit dan penambangan tembaga digenjot besar-besaran. Alhasil, Freeport menanggung keuntungan yang sangat besar dan menjadi perusahaan raksasa nan kaya raya.

Keberadaan perusahaan tambang tersebut membawa dampak yang sangat signifikan bagi pendapatan Papua. Produk Domestik Bruto (PDB) Papua memang nomor tiga seluruh Indonesia, tetapi tingkat kesejahteraan Papua ada di posisi ke-29 dari seluruh propinsi yang kini ada. Hal ini menunjukkan belum meratanya pendapatan di masyarakat. PDB Papua sebagian besar disumbang dari pendapatan Freeport yang sangat tinggi (tahun 2004 profit nettonya sebesar US$ 934 million atau 9,34 triliun rupiah). Namun kita jangan bangga dulu karena pendapatan tersebut bukan seutuhnya menjadi milik negeri kita, bahkan lebih banyak yang lari ke pihak asing (capital outflow). Karena 81,2% saham pertambangan tersebut adalah milik Freeport McMoran. Pemerintah kita melalui PT Freeport Indonesia hanya memiliki 9,4% saham saja, sementara 9,4% sisanya dimiliki oleh Indocopper Investama yang ternyata 100% sahamnya dikuasai oleh PT Freeport McMoran.

Pernyataan Wakil Presiden Jusuf Kalla bahwa kondisi ekonomi dan kesejahteraan di Freeport dan daerah sekitarnya sudah baik (Tempo, 26/02/06) pada kenyataannya tidaklah terbukti. Sebelumnya Kalla juga mengatakan Freeport telah memberikan manfaat bukan saja untuk Timika, tapi juga seluruh Papua lewat pajak, bagi hasil, dan program pengembangan komunitas.

Timika sebagai kota utama Freeport memang cukup baik karena menjadi kota utama kegiatan Freeport di mana karyawannya banyak beraktivitas. Namun, daerah lainnya yang termasuk wilayah kontrak karya seperti Yahukimo masih rendah kesejahteraannya. Bahkan beberapa waktu lalu sempat mencuat kasus gizi buruk di daerah tersebut.

Selain masalah kesejahteraan, masyarakat Papua juga mau tidak mau harus menerima kenyataan bahwa kini lingkungannya telah tercemar. Kementerian Lingkungan Hidup telah erkali-kali memperingatkan Freeport sejak tahun 1997 karena melanggar peraturan perundang-undangan tentang lingkungan hidup.

Menurut perhitungan Freeport sendiri, penambangan mereka dapat menghasilkan limbah sebesar kira-kira 6 miliar ton (lebih dari dua kali bahan-bahan bumi yang digali untuk membuat Terusan Panama). Kebanyakan dari limbah itu dibuang di pegunungan di sekitar lokasi pertambangan, atau ke sungai-sungai yang mengalir turun ke dataran rendah basah, yang dekat dengan Taman Nasional Lorentz, sebuah hutan hujan tropis yang telah diberikan status khusus oleh PBB.

Jadi, yang perlu dipertanyakan adalah apakah dari sekian banyak kekayaan alam yang dikuras dari bumi Papua itu para penduduknya tidak mendapatkan apa-apa? Apakah mereka hanya disisakan kemiskinan dan penderitaan? Bentuk-bentuk tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility) yang dipublikasikan dalam website perusahaan Freeport (http://www.ptfi.com) juga patut diberi tanda tanya besar karena warga Papua belum merasakan peningkatan kesejahteraan yang berarti.

Gonjang-ganjing di Papua kini juga diwarnai dengan perginya 42 warga Papua ke Australia untuk mencari suaka. Selain protes terhadap pemerintah Australia karena telah memberikan visa sementara, pemerintah Indonesia juga seharusnya menjadikan kasus ini sebagai peringatan akan terancamnya integritas bangsa. Jangan sampai ketidakadilan yang dirasakan oleh sebagian warga negara membuat nasionalisme mereka luruh dan akhirnya pudar.

Sudah saatnya pemerintah memprioritaskan pemerataan sosial dan ekonomi di Indonesia. Apakah pemisahan diri Timor Timur harus juga terjadi pada Papua???

Maisya Farhati
Mahasiswa Fakultas Ekonomi UGM Jurusan Ilmu Ekonomi

Kamis, 06 April 2006

BHP, Kapitalisasi Perguruan Tinggi

Sudah tidak tahu lagi apa yang berlaku di negara ini. Perilaku main hakim sendiri yang dulu hanya dilakukan oleh orang-orang bawah, saat ini hal tersebut nampaknya sudah menular ke kalangan atas pemerintahan. Jika rakyat bawah bermain hakim sendiri berarti mendului aparat.

Maka kalangan atas bermain hakim sendiri dengan menelikung undang-undang yang berlaku, di dalam membuat kebijakan. Kalau orang bawah main hakim sendiri menyebabkan orang lain orang lain sekarat atau bahkan kematian orang lain. Orang atas main hakim sendiri juga membawa dampak orang-orang lain menjadi sekarat atau bahkan juga mati, perlahan-lahan.

Sudah menjadi rahasia publik bahwa kondisi kependidikan Indonesia khususnya sektor pendidikan tinggi sedang menuju kepada perubahan yang—katanya hal biasa—radikal, yaitu otonomi kampus melalui wadah Badan Hukum Pendidikan (BHP). Mengapa radikal? Karena perubahan ini dapat merontokkan sendi-sendi dari pendidikan itu sendiri. Perubahan ini juga akan menyebabkan tereliminasinya banyak kontestan lulusan SMA yang sama-sama berpotensi.

Dalam melihat konsekuensi dari pemberlakuan BHP kepada institusi-institusi perguruan tinggi, selalu terdapat dua sudut pandang. Pertama sudut yang meluluskan kebijakan tersebut dan yang kedua sudut pandang yang mengkritisi. Kedua belah pihak ini bertemu pada fakta bahwa otonomi pendidikan tinggi akan mengurangi porsi pemerintah dalam penyediaan dana operasional perguruan tinggi, yang pada gilirannya mau tidak mau, suka tidak suka, perguruan tinggi mesti lebih kreatif dalam hal pendanaan, dan salah satu imbasnya adalah biaya yang ditanggung pelajar akan bertambah tinggi.

Tentu saja hal tersebut (naiknya biaya) tidak boleh terjadi. Bagaimana mungkin orang-orang pembuat kebijakan menambahkan lagi satu jenis seleksi penerimaan calon mahasiswa: Seleksi Keuangan. Bagaimana mungkin pemerintah merumuskan kebijakan yang akan melabrak UU No. 20 tahun pasal 11 (1) yang bunyinya: "Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan KEMUDAHAN, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa DISKRIMINASI" (!!!). Ya, seleksi keuangan adalah bentuk diskriminasi. Atau bila kita merujuk pada pasal lima: "setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu" Mungkin tidak salah jika kita menyebut pemerintah setengah hati dalam memberikan hak tersebut.

Memang kita tidak dapat menyangkal kapitalisme sudah sangat mendarah daging, suka atau tidak, disadari atau tidak, kapitalisme telah merasuk ke dalam urat nadi kehidupan manusia. (Tajuk Rencana Sinar Harapan), termasuk sektor pendidikan yang juga dirasuki mazhab yang cuma berpihak kepada orang-orang kaya tersebut. Lalu bila pendidikan hanya berpihak kepada orang-orang kaya, hendak dikemanakan nilai, semangat dan ruh pendidikan?

Kapitalisasi pendidikan sebagaimana tersirat dalam UU RI tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) dengan jelas mengandung pembodohan terutama peserta didik, bahkan tidak mencerminkan nilai-nilai/semangat pembukaan UUD 1945: Mencerdaskan kehidupan bangsa. Forum Cipayung Yogyakarta dengan berapi-api menyatakan UU Sisdiknas tidak berniat memperbaiki kualitas kehidupan bangsa, tidak mampu membendung arus kapitalisme pendidikan, semakin menguatkan politisasi negara terhadap pendidikan, dan menghapus nilai, semangat, dan ruh pendidikan.

Ya, memang begitulah fakta yang hadir.

Jadi, meskipun pemerintah mengacu kepada Deklarasi Lima tentang Kebebasan Pendidikan & Otonomi Pendidikan Tinggi yang menjabarkan bermacam-macam nilai postif otonomi pendidikan—atau kapitalisasi pendidikan, tetap kita tidak dapat menerima pemberlakuan otonomi pendidikan (atau Pembentukan BHP, atau pelegalan Kapitalisasi pendidikan) tersebut. Lebih-lebih porsi dana APBN yang dianggarkan bagi sektor pendidikan cuma 12%, itu pun masih dipasung untuk dibagi-bagikan ke Departemen negara yang lain (tidak semuanya untuk Depdiknas).

Seandainya otonomi Pendidikan diberlakukan di negara yang sudah maju, mungkin hal tersebut tidak membawa dampak negatif. Tapi tidak dengan negara Bumiputera ini, jangan lupa dong, Ini Indonesia Bung!!

Denny Juzaili

Jumat, 17 Maret 2006

CEPU on my mind:Indonesiaku sayang, Indonesiaku malang...

Sebuah istilah “bagaikan ngekos di rumah sendiri”, memang pantas dijadikan analogi bagi keadaan negara kita sekarang. Kasus yang sedang hangat (bahkan panas), yaitu Blok Cepu, adalah salah satu contohnya. Atas nama nasionalisme dan manfaat ekonomi bagi seluruh rakyat, kandungan migas di nusantara sudah seharusnya dikuasai dan diatur negara bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Lalu, bagaimana bisa ExxonMobil turut campur dalam hal pengelolaan Blok Cepu??

Blok Cepu pada awalnya diusahakan oleh PT Humpuss Patra Gas (HPG) melalui technical assistance contract (TAC) dengan Pertamina. Dengan alasan tidak mempunyai dana yang cukup untuk membiayai eksploitasi cadangan minyak di blok itu, HPG pada 1997 melepas 49 persen sahamnya kepada Ampolex, perusahaan minyak yang sebagian besar sahamnya dikuasai ExxonMobil.

Menurut Kepala Badan Pengelolaan dan Pengawasan Kontraktor Asing (BPPKA) PT Pertamina, Zuhdi Pane (Kompas, 28/2/2006), pelibatan investor asing dalam TAC sebenarnya tidak diperbolehkan secara perundang-undangan. Namun hal tersebut ternyata dapat diloloskan setelah pihak Ampolex pada saat itu melakukan “pendekatan” dengan Soeharto.

Dalam perkembangan selanjutnya, ExxonMobil mengambil alih 100 persen saham HPG di Cepu melalui Ampolex. Kontrak ExxonMobil di Blok Cepu semestinya selesai pada tahun 2010 dan menurut undang-undang tidak boleh diperpanjang. Namun pada kenyataannya pihak ExxonMobil ngotot ingin memperpanjang, bahkan berebut hak sebagai operator dengan Pertamina. Dan sayangnya, kini Exxonlah yang memperoleh hak tersebut.

Walaupun hak operator tersebut “hanya” berlaku selama lima tahun, dikhawatirkan ExxonMobil semena-mena dalam mengelola Blok Cepu. Bisa saja ia menguras habis minyak kita selama lima tahun tersebut, dan ketika hak operator telah dipegang Pertamina, yang tersisa hanyalah air (mungkin ini terlalu hiperbolis, tapi bisa saja terjadi kan?).

Kasus ini mengingatkan saya akan pengelolaan minyak di Ekuador yang juga dipegang oleh perusahaan minyak asing. John Perkins dalam bukunya “Confessions of an Economic Hit Man” memaparkan hal tersebut. Untuk minyak mentah senilai $100 yang diambil dari hutan hujan Ekuador, perusahaan minyak menerima $75. Dari $25 sisanya, tiga perempatnya harus dipakai untuk membayar utang luar negeri (yang juga merupakan suatu bentuk penjajahan AS dan konco-konconya). Sebagian besar dari yang tersisa dipakai untuk menutup biaya militer dan biaya pemerintahan lainnya, dan menyisakan kira-kira $2,5 untuk kesehatan, pendidikan, dan program bantuan bagi orang miskin. Ironis sekali bukan?

Memang, dalam kasus Blok Cepu pembagian hasil minyak sudah ditentukan. Persentase yang sudah disepakati saat ini adalah 85 persen pemerintah, Pertamina dan ExxonMobil masing-,asing memperoleh 6,75 persen, dan pemerintah daerah (Jatim dan Jateng) sebesar 1,5 persen. Tapi, bukannya tidak mungkin pihak ExxonMobil melakukan mark-up dan KKN. Selain itu, sebagai pengelola, peluang untuk melakukan intervensi dan pengambilan keputusan yang hanya menguntungkan pihak ExxonMobil sendiri selalu ada.

Ah, begitu menyedihkan. Blok Cepu yang memiliki cadangan prospektif lebih dari sepuluh milyar barel dan merupakan cadangan terbesar yang pernah ditemukan di Indonesia kini telah jatuh ke tangan asing.

Kapankah kita dapat menjadi bangsa yang mandiri?

Maisya Farhati
Mahasiswa Ilmu Ekonomi UGM

bluezone_24@yahoo.com

Kamis, 16 Maret 2006

Harga Sebuah Idealisme

Medio, 15 Maret 2006
Dalam sebuah ruang dimana kebebasan bisa didapat tanpa perjuangan

Wajarkah bila sang aku memilih untuk berdiam diri dan termenung?
Wajarkah aku memilih terkurung disaat aku tahu ada mereka yang dikurung?
Wajarkah aku menyalahkan mereka, disaat dengannya sekejap?
Atau wajarkah aku memilih tidak merasa bersalah, ketika aku tahu aku salah?

Demi tuhan yang tahu apa niatku
Tak ada kefakiran yang aku tidak merasa lemah terhadapnya, kecuali waktu
Dan hanya berniat, bila tiba waktuku
Ku mau tak akan seorang pun menghadangku, walau itu aku.

Ketika idealisme dipertanyakan dalam tatanan praktis, dimana sepantasnya kita menampilkannya?

Sebagai gambaran, adakah seorang konseptor yang bertindak sebagai praktisi? Jawabnya ada. Dan pertanyaan tentang hal diatas, akan sangat-sangat jelas ketika dijawab oleh mereka.

Alkisah dalam sebuah negeri antah berantah, saya menyebut negera itu bernama indoensia. Sebuah negara dongeng yang semuanya berlaku selayaknya disurga.

Indoensia, dalam kisah saya ini diibaratkan sebuah kampung kecil terpinggir yang berada didalam pedalaman hutan yang tidak tersentuh oleh siapapun, hingga ada orang-orang bernafsu yang munafik mencoba mengatakan bahwa kampung itu menyimpan emas. Memang entah iya entah tidak, walaupun dongeng sebelum tidur dalam kampung itu selalu bercerita tentang raksasa kecil yang berhajat sebuah emas batangan.

Dan konon orang-orang bernafsu tersebut meminta sebuah pertolongan dengan pembagian 1:3, satu untuknya dan tiga untuk mereka sang orang luar atas emas yang bila nanti ditemukan dalam kampung tersebut. Tetapi orang-orang bernafsu tersebut meminta sebuah syarat tambahan, yakni penguasaan terhadap kampung tersebut. Dan ini pun menjadi syarat konyol menurut orang luar tersebut yang tidak seharusnya diajukan oleh orang-orang yang beranggapan kewarasan pun ada batasnya.

Setelah beberapa tahun setelah itu, emas batangan pun ditemukan. Dan dibagi berdasarkan apa yang sudah disepakati. Dengan tambahan syarat tersebut, penguasaan terhadap yang lain. Ketika waktu terus berjalan, tahun pun berubah menjadi sewindu dan dasawarsa. Orarng-orang bernafsu tersebut bingung, penguasaan satu terhadap yang lain hanya bisa dipertahankan dengan memenuhi kebutuhan mereka, sedangkan hasil emas kemarin telah dibagikan, ketika ada sebuah opsi yakni menggunakan emas miliknya, maka sang pengecut itu berkata dalam hati, kenapa kebutuhan mereka harus ia pikirkan. Lalu ia memutuskan untuk tidak jadi berkuasa terhadap yang lain.

Cerita sederhana, tapi telah terlihat bahwa orang pintar akan selalu tampak bodoh tanpa idealisme. Tapi kenapa setiap generasi dalam negara dongeng yang saya sebut indoensia itu, selalu ada orang-orang pintar yang bodoh.

Entahlah, ketika idealisme mulai dipertanyakan dan dijual dengan harga tinggi, itulah harga terendah dari sebuah idealisme. Karena idealisme adalah harta orang-orang miskin untuk merasa kaya, adalah ilmu orang-orang bodoh untuk merasa cerdas, adalah kepuasan orang-orang lapar untuk merasa kenyang, adalah keteguhan orang-orang berkeyakinan untuk merasa kokoh, dan pretise seorang pemuda untuk merasa berharga bahkan lebih.

st. jabok
Ketika tahu keterbatasan diri selalu menjadi kendala mengusung sebuah idealisme, sehingga membutuhkan kawan. Tidak selalu sevisi ataupun cerdas, tapi bisa dipercaya, karena kepercayaan menjadi pokok terdistribusinya visi.

Kamis, 09 Maret 2006

Kebebasan menurut Tan Malaka

Barang siapa sungguh menghendaki Kemerdekaan buat umum, segenap waktu ia harus siap sedia dan ikhlas buat menderita "Kehilangan Kemerdekaan diri sendiri". Tan Malaka

Minggu, 29 Januari 2006

SPB (Sistem Penanganan Bencana) INDONESIA

Air mata ibu pertiwi mungkin sudah kering melihat berbagai bencana yang diterima anak kandungnya entah itu karena ketidaksabaran alam atau karena kesalahan hasil karsa manusia-manusia yang dilahirkan anak kandungnya. Belum dua minggu presiden Susilo menghadiri peringatan setahun bencana nasional tsunami Aceh, kecamatan Banjarmangu, kabupaten Banjarnegara, Jember mendapat bencana Banjir Bandang yang membuat beberapa penduduk menjadi tuna wisma dikarenakan rumah-rumah mereka hancur termakan gelombang air bercampur lumpur longsoran.

Jika dibandingkan dengan air bah yang menyerang Nanggroe Aceh Darussalam kurun waktu lampau, banjir Jember ini bisa dikatakan “nggak ada apa-apanya”. Namun untuk konteks penderitaan, yang dirasakan para korban banjir Jember dan Tsunami Aceh, hal tersebut sama-sama menghasilkan penderitaan yang berat. Perbedaannya adalah tsunami Aceh tidak diprediksikan sebelumnya, berbeda dengan banjir Jember 4 Januari 2006 lalu yang sudah nyaring disuarakan dan diperingatkan oleh berbagai lembaga pemerintahan dan nonpemerintahan terutama yang paling gencar adalah Wahana Lingkungan Hidup (Walhi).

Menurut WALHI, mereka sudah lama menyampaikan kepada Pemerintah Daerah Jember bahwa daerah Jember memiliki potensi untuk mengalami banjir. Jember termasuk dari 23 titik rawan banjir di daerah Jawa Timur yang dikeluarkan tahun 2003. Pemda tidak menanggapi. Padahal banyak sekali kasus banjir bandang yang terjadi sejak tahun 2000 dan bencana tersebut semuanya diperingatkan dan diprediksi sebelumnya. Seakan pemda takabur dan menutup mata terhadap data-data yang ada. Mirip orang yang jatuh dua kali pada lubang yang sama.

BAKORNAS

Tahun 1999 pemerintah telah membuat Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Pengungsian (Bakornas PBP) yang khusus bertanggung jawab dalam menangani berbagai bencana mencakup kegiatan pencegahan, penjinakan/mitigasi, penyelamatan, rehabilitasi, dan konstruksi (Keppres No.3 tahun 2001 pasal 2 ayat 1). Pembentukan Bakornas memiliki maksud agar penanganan dan penanggulangan bencana dapat berjalan dengan cepat, tepat, terpadu, dan terkoordinasi.

Namun cita-cita penanganan dan penanggulangan yang terkoordinasi, cepat, tepat, dan terpadu tidak terealisasi karena kurangnya kekuatan wewenang yang dimiliki Bakornas. Badan ini lebih berfungsi sebagai sekretariat penanganan bencana tanpa fungsi pelaksana (Septo Pradityo, 2005). Bakornas hanya berwenang mengkoordinasikan dan mendelegasikan tugas kepada departemen-departemen yang terkait, dan departemen tersebutlah yang melakasanakan penanganan pencegahan secara langsung.

Apa peran Bakornas selanjutnya? Tidak ada lagi, setidaknya untuk hal-hal yang bersifat aksi konkret. Para departemen yang diberikan wewenang pun belum dapat bekerja dengan leluasa karena kebijakan yang mereka buat harus menunggu persetujuan presiden. Kewenangan departemen untuk penanganan bencana belum secara komprehensif diatur dalam Undang-Undang. Hal inilah yang membuat penanganan bencana di Indonesia berjalan lamban. Jalur birokrasi terlalu panjang dan ribet, bahkan untuk masalah yang berstatus darurat dan membutuhkan respon cepat

RESOLUSI

Oleh karena itu dibutuhkan suatu perombakan menyeluruh pada sistem penanganan bencana yang ada saat ini. Indonesia memiliki banyak situs rawan bencana di dalam peta geologi. Apa pemerintah berencana membahayakan rakyat dengan kelambanan dan buruknya manajemen penanganan bencana?

Pemerintah perlu membuat suatu lembaga yang khusus menangani bencana alam bukan sekedar sebuah sekretariat bencana namun juga memiliki wewenang lebih. Menurut Ginanjar Kartasasmita, sepanjang belum ada lembaga yang menangani secara khusus, penanganan bencana di Indonesia kemungkinan bakal terus berjalan lambat. Pemerintah bisa mencontoh Amerika Serikat yang langsung memberlakukan undang-undang Federation Emergency Management (FEMA) di saat terjadi bencana. Dengan undang-undang tersebut semua produk undang-undang lain tunduk di bawahnya. Undang-undang itu juga menunjuk institusi mana yang berwenang menangani bencana (Tempo Interaktif 17 Januari 2005).

RUU darurat bencana sudah lama dibahas di DPR dan hingga saat ini belum terlihat akan tuntas, setidaknya hingga akhir tahun 2005. Saya pikir pemerintah harus memprioritaskan penyelesaian RUU darurat bencana ini karena seperti biasa, awal-awal tahun adalah saat-saat dimana Indonesia mendapatkan curah hujan yang sangat tinggi. Dengan keadaan alam yang sudah semakin rusak ditambah kurangnya kesiapan infrastruktur penunjang bisa jadi bencana banjir yang datang ini akan lebih dahsyat daripada banjir tahun-tahun kemarin. Keseriusan pemerintah dalam menjawab permasalah bencana ini akan menjamin kenyamanan masyarakat dalam menghadapi musim penghujan tahun ini . Apabila pemerintah tidak mampu belajar dari bencana-bencana yang lalu mungkin masyarakat kembali akan berbondong-bondong tinggal di tenda-tenda pengungsian selama musim hujan ini.

Denny Juzaili (Mahasiswa tahun Pertama Farmasi, UI)
d_juzaili@fastmail.fm

Menggugah Kesalehan Sosial Para Pemimpin Kita

Hari raya Idul Adha adalah salah satu hari raya besar bagi ummat Islam di dunia. Saat ini berjuta-juta muslim dan muslimah sedang mengadakan ibadah haji di Mekkah sebagai salah satu implementasi dari rukun Islam. Dari segi waktu, hari raya Idul Adha 1626 Hijriyah kali ini mempunyai arti mendalam bagi kita muslim di Indonesia. Perayaan hari raya Idul Adha tahun ini berada di tengah-tengah banyaknya bencana menimpa negara ini. Mulai dari peristiwa peledakan bom yang tidak kunjung usai, kenaikan harga BBM, serangan penyakit flu burung, kasus KKN di lembaga negara, hingga terakhir kasus formalin, serta bencana banjir dan longsor.

Tulisan ini berusaha membahas tentang tindakan ‘pemotongan gaji’ oleh Morales, presiden Bolivia yang baru saja memenangkan pemilihan langsung di negaranya (Republika, 20/12/2005), dihubungkan dengan konsep pengorbanan pada momen Idul Adha, dan perbandingannya dengan keadaan di Indonesia saat ini.

Refleksi Spiritual Idul Adha

Secara etimologis, Idul-Adha terdiri dari dua kata itu berasal dari bahasa Arab. Kata pertama Idul berasal dari kata "'aada-ya'uudu-awdatan wa 'iidan" yang berarti kembali. Sedangkan Adha adalah kata kerja yaitu "Adha-Yudhii-Udhiyatan" yang berarti berkorban. Dengan demikian, arti Idul Adha secara sederhana adalah sebuah tekad untuk kembali kepada semangat pengorbanan. Semangat pengorbanan ini tentunya bisa mengacu pada cerita Nabi Ibrahim dan Ismail, yang sama-sama ikhlas dalam menerima perintah Allah untuk menyembelih Nabi Ismail (Ash-Shaffat: 102-105). Kisah yang penuh dengan sikap ketulusan dan mengajarkan kepada kita bahwa segala apa yang kita miliki di dunia ini adalah titipan Allah semata yang sewaktu-waktu bisa diambil oleh Yang Maha Kuasa.

Hikmah Berkurban

Ada hal penting dalam kegiatan Kurban ini. Betapa kita diperintahkan untuk selalu memperhatikan fakir miskin, dan semangat berkurban. Apabila sifat suka berkorban ini meresap ke jiwa seluruh ummat Islam Insya-Allah akan terwujud ketenangan dan kedamaian dalam masyarakat dan akan dekatlah jurang yang memisahkan antara yang kaya dengan yang miskin, antara yang kuat dengan yang lemah, antara penguasa dengan rakyat biasa.

Namun dalam Islam, ibadah kurban bukanlah sekedar mengalirkan darah hewan kurban dan membagi-bagikannya kepada fakir miskin, tetapi juga memiliki nilai dan makna rohaniah yang sangat dalam dan dampak sosial yang sangat besar. Sebagaimana platform Allah dalam surat Al-Haj ayat 37: Bukan daging dan darahnya yang sampai kepada Allah, melainkan ketakwaanmu yang dapat mencapainya.

Permasalahan

Menurut saya, salah satu sumber masalah para pemimpin di negara kita adalah tidak adanya sikap ‘pengorbanan’ yang mencerminkan semangat berkurban di saat hari raya Idul Adha. Saya ingin menjelaskan permasalahan kerelaan ‘berkorban’ yang masih kurang di kalangan para pejabat pemerintahan, baik eksekutif maupun legislatif. Tentu saja ini sangat jauh berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Morales melalui pengorbanannya memotong gaji untuk diserahkan kepada fakir miskin.

Morales dan Pemotongan Gaji

Dalam sebulan terakhir ini, peta perpolitikan dunia sedikit agak memanas dengan terpilihnya presiden baru Bolivia, Morales. Sosok yang beraliran ‘kiri’ ini sangat kontroversial karena dengan lantang berani mengungkapkan ketidaksukaannya kepada Amerika Serikat, negara adikuasa saat ini. sebuah tindakan yang tergolong ‘nekat’ mengingat hampir semua pimpinan dunia tidak berani bertindak demikian, termasuk pemimpin kita. Amerika Serikat pun mulai gusar dan bertambah gerah seiring dibentuknya koalisi trio, Castro (Cuba), Morales (Bolivia), dan Chavez (Venezuela).

Sebagai pemimpin yang baru terpilih, Morales merelakan setengah dari gajinya untuk ‘disedekahkan’ pada sektor pendidikan dan kesehatan agar lebih banyak pegawai bisa dipekerjakan (Kompas, 29/12/2005). Sebuah tindakan terpuji dari seorang pemimpin masa kini yang jarang kita temui. Tindakan ini tentunya secara tidak langsung akan menyentil para pemimpin kita di Indonesia saat ini. Di saat krisis yang sedemikian parah, di saat rakyat menderita kelaparan, di saat semua harga barang naik, para pemimpin kita dengan terbuka dan sedikit semalu-malu serta pura-pura tidak tahu, menaikkan gaji mereka sendiri dan menambah anggaran-anggaran yang tidak perlu. Baik, presiden, wakil presiden, dan bahkan anggota dewan DPR pun seolah berlomba-lomba melakukan penaikan gaji mereka.

Apa yang dilakukan oleh Morales adalah bentuk kongkret dari sebuah tindakan yang dilandasi kesederhanaan dan kedermawanan seorang pemimpin. Kita tentu ingat dengan kesederhanaan dan kedermawanan yang diperlihatkan oleh salah satu pemimpin terkenal Islam, yaitu Umar bin Abdul Aziz. Sifat kerelaan dan kesahajaan ini tentunya sesuai dengan nilai-nilai pengorbanan seperti cerita Nabi Ismail dan Ibrahim. Orientasi Morales bukan pada pemenuhan materil lagi. Unsur kepuasan batin adalah hal yang utama. Baginya, menyenangkan hati rakyat adalah merupakan sebuah proses pemenuhan kebutuhan tertinggi. Menurut terminologi Abraham Maslow, tindakan Morales ini sudah sampai pada pencapaian tingkat aktualisasi diri (suatu tindakan berlandaskan moral yang saat ini mulai menghilang dari pejabat negara kita). Saat ini banyak anggota DPR misalnya yang bersikap oportunis. Oportunis dalam hal pengerukan keuntungan dari segi materil, baik secara legal maupun illegal terhadap harta kekayaan dan fasilitas negara. Para pejabat kita yang disinyalir masih korup itu berada di level pemenuhan kebutuhan primer, masalah perut, yaitu kebutuhan yang paling mendasar. Padahal seharusnya mereka berada di level ‘aktualisasi diri’ dalam hal status sosialnya (social status) menjadi pengayom dan pelayan masyarakat. What a shame!

Contoh Keteladanan

Mungkin ada beberapa nama yang menjadi icon dalam gerakan penghematan atau menolak kemewahan atau juga menggalakkan sifat zuhud dan sederhana. Beberapa waktu lalu kita sempat mendengar ada sekelompok anggota DPR yang menolak pemberian mobil dinas yang mewah. Ada juga yang menolak menginap di hotel berbintang. Tapi jumlah mereka tidak signifikan. Sangat sedikit dan bisa dihitung dengan jari. Sehingga tidak mampu menggerakkan massa DPR yang jumlahnya ratusan orang. Bahkan cibiran dan hinaan kerap menghampiri mereka yang menolak fasilitas-fasilitas mewah dari negara. Sikap mental pemimpin yang lebih senang kepada kemewahan ini menjadi bumerang tersendiri bagi kita sebagai rakyat. Dengan meningkatnya anggaran negara terhadap pos-pos yang sebenarnya tidak perlu dibiayai-seperti jalan-jalan wisata ke Mesir beberpa waktu lalu-ikut memicu peningkatan jumlah RAPBN kita dan berimplikasi pada keterbukaan peluang untuk berutang kepada IMF, CGI dan Bank Dunia lagi.

Penutup

Jika memang Morales yang notabene adalah pemimpin negara yang bukan berpenduduk muslim dan berada di salah satu daftar negara termiskin di dunia, bisa melakukan pemotongan gaji dan mampu menunjukkan kepada rakyatnya untuk bertindak dengan berlandaskan moral dan hati nurani, maka kenapa para pemimpin kita tidak bisa melakukan hal serupa? Padahal negara kita dikuasai oleh pemimpin muslim dan terkenal sebagai negara berpenduduk muslim terbesar dunia, bukan?

Mari kita jadikan hal ini sebagai renungan spiritual. Belum terlambat bagi para pejabat negara ini untuk mengambil tindakan ‘pemotongan gaji’ sebagai resolusi tambahan di tahun 2006 ini. Bersamaan dengan momentum hari raya Idhul Adha ini, hendaknya kita (pemerintah bersama rakyat) bisa melakukan refleksi spiritual bersama dalam mengkampanyekan gerakan kesalehan sosial diantara kita. Semoga dengan adanya kesukarelaan ‘pemotongan gaji’ oleh pejabat tinggi, akan meningkatkan kembali kepercayaan rakyat terhadap pemerintah yang sedang mengalami penurunan pasca kenaikan harga BBM tahun 2004 lalu.

Adlil Umarat (Mahasiswa Sosiologi FSIP, UI)
cuad_nv@yahoo.com

Kamis, 26 Januari 2006

Pendidikan dan Pengembangan Pola Pikir

Aspek Dasar Pendidikan

Dari manusia dilahirkan hingga nafas terakhirnya diudara kehidupan, ada satu aktifitas yang tidak pernah berhenti dilakukannya, yakni pembelajaran. Pembelajaran dalam kaitannya dengan bahasan ini adalah sebuah aspek dasar dari sistem pendidikan yang sampai saat ini terus berkembang.

Pembelajaran adalah sebuah proses dimana manusia melihat sekitarnya, melihat kedalam dirinya, medapatkan pemahaman atasnya dan menjadi dasar setiap aktifitas yang berikut akan dikerjakannya.

Pembelajaran yang baik adalah pembelajaran yang berkelanjutan, pembelajaran yang selalu bersiklus, yakni pembelajaran yang selalu dimulai dari setiap akhir pemahaman yang diperolehnya. Sehingga pemahaman yang didapatkan oleh setiap individu akan berbeda satu sama lainnya. Dan hal ini adalah wajar karena ilmu (yang sedikit Allah berikan kepada masing-masing kita) sungguh melimpah.

Jalan Pintas Pembelajaran

Membaca pemahaman seseorang berikut konklusi dan analisisnya adalah salah satu cara mendapatkan pemahaman melalui jalan pintas. Proses yang pemilahan terhadap suatu fenomena akan menjadi lebih mudah dengan melihat bagaimana seseorang menyelesaikan masalah, bagaimana seseorang memiliki sebuah kerangka pemecahan masalah yang dinamis, bagaimana seseorang memandang sebuah permasalahan dan menyimpulkan faedah yang didapatkannya.

Membaca pemahaman seseorang dapat dilakukan dengan berbagai cara, dimulai dari melihat tindakan, membaca biografi, membaca buku, hingga pada tahapan interaksi frontal dengan individu tertentu.

Semakin banyak sang individu melakukan jalan pintas dalam Pembelajaran semakin banyak pula pola pikir yang menumpuk dalam pikirannya, sehingga terkadang bila ia tidak berusaha mensinergikan dengan pola pikirnya sendiri, membuatnya lebih beralur, menjadi pemahaman yang berkelanjutan atau hanya memahami tanpa berusaha menyesuaikan dengan kondisi realita yang sedang dihadapinya. Hal ini yang menyebabkan “linglung”, proses yang sama dialami oleh Freud (Bapak Psikologi) ketika mencoba menganalisis dirinya dengan berbagai kepribadian.

Pembelajaran dan Pendidikan

Pendidikan adalah suatu upaya sistematis dalam mendistribusikan ilmu pengetahuan. Bila pembelajaran adalah suatu upaya untuk memperoleh ilmu pengetahuan, maka pendidikan adalah suatu alur untuk menciptakan pembelajaran.

Sehingga pendidikan selalu mempunyai tujuan dan arahan. Sering kali kita melihat bahawa arahan pendidikan sering kali mengenai sesuatu yang abstrak seperti kualitas, kompeten, dan lain sebagainya. Dalam realita patut kita mensederhanakan konsep teoritis tersebut atau memberi penjelasan lanjutan seperti, berkualitas dalam kelimuan tertentu, berkualitas dalam aspek tertentu, sehingga hal tersebut bisa lebih mudah diaplikasikan untuk menopang pembangunan masyarakat, yang agraris, yang hi-tec, atau yang lain sebagainya.

Pengembangan Pola Pikir

Pada dasarnya pengembangan pola pikir adalah hasil reaktif dari adanya pembelajaran yang berkelanjutan, sistem pendidikan yang terarah dan pemahaman sang individu yang mendalam akan nilai-nilai yang essensial dalam kehidupan, yang menyangkut nilai-nilai humanity yang universal.

Pengembangan pola pikir adalah nsuatu hal yang mahal yang dapat disuguhkan oleh pembelajaran berkelanjutan dan pendidikan yang terarah. Pengembangan pola pikir bukanlah suatu hal yang bisa dituntut dari seorang individu, karena hal tersebut berasal dari hasil reaktif terhadap kegiatan pembelajaran berkelanjutan dan pendidikan yang terarah. Yang berarti bagaimana pembelajaran berkelanjutan dan pendidikan yang terarah dapat disinkronkan dalam aspek-aspek tertentu, sehingga tidak keseluruhan sistem pendidikan dimonopoli untuk kebutuhan sang pendididik, atau negara yang mensistematisasi pendidikan, ambillah sebagian kecil dari pendidikan untuk kepentingan masyarakat, negara dan bangsa dan berikan sebagian besarnya untuk menopang pembelajaran berkelanjutan sang individu.

Kritik Pendidikan

Dari hasil yang diuraikan diatas, pembelajaran berkelanjutan sang individu sering kali dicekal oleh sistematisasi pendidikan, padahal pendidik, negara tidak mampu menampung individu-individu yang sengaja diarahkan. Hal yang terjadi ini bukan saja merengut kebebebasan sang individu, tapi menyuguhkan kebohongan atas masa depan sang individu, dia yang mengarahkan untuk kepentingan tertentu maka dia harus bertanggung jawab atas arahannya itu.

Sistem pendidikan Indonesia yang kini berarah kepada sistem yang berpihak pada siswa aktif, student aktif learning, tidak akan bisa memenuhi nilai pembelajaran berkelanjutan selama tidak memberikan nlai penuh sang pembelajar sebagai subyek yang berhak menentukan apa yang ingin dipelajarinya.

Aspek dasar dari pendidikan adalah pembelajaran, yang intinya membentuk kepribadian-kepribadian yang memahami secara mendalam akan nilai-nilai dalam kehidupan, karena pendidikan dan pembelajaran adalah suatu upaya menambah nilai dari suatu kegiatan. Inilah yang sedikit terlupakan dari pendidikan modern.

Abdullah Arifianto (Mahasiswa Teknik Mesin, UGM)

Jumat, 20 Januari 2006

Apa yang Dokter Lakukan di Ruang Prakteknya? (bagian satu dari dua tulisan)

Banyak yang bukan berlatar belakang medis mungkin bertanya, mengapa kita mesti membayar jasa dokter begitu mahal untuk sebuah pelayanan yang hanya beberapa menit saja. Biaya ini belum termasuk harga obat yang mesti ditebus di apotek serta biaya ini-itu yang jumlahnya juga tidak sedikit.

Pertanyaan di atas sering terlontar di kalangan awam dan tak jarang menjadi alasan utama mengapa seseorang –terutama dari kalangan sosial menengah dan menengah ke bawah- memilih untuk tidak berobat ke dokter jika dirinya sedang sakit. Pertanyaan ini pulalah yang membuat larisnya pengobatan-pengobatan alternatif, dukun modern, serta tabib-tabib yang keliling kampung. Jika ditinjau dari segi kesehatan makro dan mikro, fenomena ini pula yang menjadikan taraf kesehatan masyarakat Indonesia masih jauh dari menggembirakan. Alih-alih menjadi sembuh, tak sedikit yang akhirnya pergi ke dokter dengan tujuan ‘mereparasi’ hasil pengobatan alternatif yang memperburuk penyakit.

Para pasien yang datang ke dokter dengan berbagai keluhan sebenarnya merupakan gunung es dari total masyarakat Indonesia, terutama di pedesaan yang sebenarnya sakit namun tidak memilih untuk pergi ke dokter. Pemerintah pun kesulitan mendata ratusan jenis penyakit, terutama penyakit tropik infeksi, yang telah dan pernah terjadi di negara ini. Sedangkan untuk menentukan kemakmuran suatu bangsa dalam Human Development Index, kesehatan menempati prioritas penilaian yang tinggi bersama pendidikan dan ketersediaan pangan. Karenanya, tak heran kalau sampai sekarang negara kita belum bisa dibilang makmur.

Life-Long Study

Mengapa kita mesti datang ke dokter? Jawaban yang utama ialah karena kita ingin sembuh dari suatu penyakit. Kemudian mengapa mesti ke dokter, sedangkan terdapat media-media lain yang dikabarkan mampu melakukan pengobatan yang mujarab. Jawabannya karena ilmu kedokteran merupakan salah satu cabang ilmu tertua di dunia dan selalu mengalami revisi yang bermakna dari waktu ke waktu. Itulah sebabnya seorang dokter yang baik akan senantiasa menerapkan prinsip life-long study, pembelajaran yang tiada akhir.

Bisa jadi metode pengobatan di tahun 2005 ini akan mengalami perubahan 1800 di tahun yang akan datang. Menurut para dosen di fakultas kedokteran, sebagian besar ilmu yang diperolehnya di waktu kuliah sudah tidak layak diterapkan lagi untuk pengobatan zaman sekarang. Bukan berarti masa kuliahnya menjadi sia-sia, namun pembelajaran di waktu kuliah akan sangat membantu pemahaman yang baik mengenai proses terjadinya penyakit dan penatalaksanaannya.

Sebenarnya dalam dunia kedokteran pun telah dikenal berbagai metode pengobatan yang sebagian telah diakui melalui Randomized Controlled Trial (RCT)1 seperti akupunktur, metode pengobatan cina, beberapa ramuan jamu, serta metode lainnya yang sangat bervariasi dari berbagai negara. Semua metode ini dikelompokkan sebagai alternative and traditional medicine (ATM). Nah, ATM yang sudah melalui RCT di Indonesia tidak banyak jenisnya. Yang sudah diakui secara internasional hanyalah akupunktur dan pengobatan cina. Di luar dari itu, tidak pernah teruji atau tidak pernah diuji keabsahannya.

Memang, banyak yang mengeluh datang ke dokter bukannya menjadi sembuh malah sering menjadi sakit. Apalagi jika dokter yang menangani terlihat kurang profesional dan kadang membuat kesalahan di depan pasiennya. Namun demikian, tetap saja apa yang telah dokter pelajari merupakan proses dari revisi ilmu kedokteran yang terjadi terus-menerus. Mungkin kesalahan yang terjadi atau ketidakpuasan pasien ialah salah persepsi dengan apa yang telah dilakukan dokternya.

Apa yang Dikerjakan Dokter?

Pada prinsipnya profesi dokter terbagi menjadi beberapa subtipe. Ada dokter yang berkiprah di pemerintahan dan penentu kebijakan, seperti para dokter yang berada di Departemen Kesehatan. Ada juga yang berorientasi pengembangan kedokteran internasional, seperti para dokter yang berada di UN Agency macam Unicef, WHO, Unesco, dll. Ada pula dokter yang memilih bekerja di perusahaan farmasi, kosmetik, makanan, hingga ada pula yang memilih untuk menjadi artis. Sedangkan sisanya, yang terbanyak kita temui, ialah dokter yang berprofesi sebagai klinisi atau klinikus, yakni dokter yang brtugas menyembuhkan orang yang sakit.

Sebagian besar mindset yang tergambar di pikiran masyarakat ialah dokter yang berjas putih, mengalungi stetoskop, berkaca mata, dan bertugas menyembuhkan orang sakit. Profesi demikianlah yang memang membuat pendidikan dokter tersohor dengan lama dan beratnya. Seorang dokter yang baik mesti menguasai struktur dan fungsi dasar manusia sehat serta manusia yang sakit. Khusus masalah sakit, seorang dokter juga mesti memahami ratusan penyakit yang ada di dunia. Itulah sebabnya profesi dokter sering dipilah-pilah menjadi spesialistik tertentu. Meski demikian, dokter spesialis apapun wajib melalui pendidikan dokter umum dan menguasai penyakit manusia secara keseluruhan.

Dalam praktek dokter, pada dasarnya kegiatan yang dilakukan ialah menegakkan diagnosis1 serta melakukan tata laksana terhadap pasien yang sakit. Menegakkan diagnosis dilakukan dengan beberapa langkah dasar, yakni melakukan wawancara (anamnesis) kepada pasien atau keluarganya, kemudian melakukan pemeriksaan jasmani terhadap organ yang kemungkinan terpengaruh penyakit tertentu, serta melaksanakan pemeriksaan penunjang dengan bantuan alat-alat medis yang lebih canggih. Tahap-tahap inilah yang penting dalam menegakkan diagnosis dan tidak semua tahap mesti dilakukan.

Anamnesis

Wawancara terhadap pasien bisa dilakukan secara alloanamnesis (menanyakan kepada keluarga atau pendamping pasien) serta autoanamnesis (bertanya langsung pada si sakit). Anamnesis merupakan tahap paling penting dalam menegakkan diagnosis penyakit. Beberapa pakar menyebutkan bahwa 60 sampai 99% persen diagnosis penyakit dapat disimpulkan dari anamnesis. Sisanya baru dilengkapi dengan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.

Sistematika anamnesis terdiri dari keluhan utama (keluhan yang membawa pasien untuk datang mencari pertolongan medis), riwayat penyakit yang terjadi sekarang, riwayat penyakit terdahulu, riwayat penyakit keluarga dan lingkungan, keadaan sosioekonomi, serta keadaan psikologis pasien.

Teorinya, semua hal yang tercantum dalam komponen anamnesis merupakan hal yang tak boleh ditinggalkan guna menghasilkan diagnosis yang akurat. Namun pada prakteknya, anamnesis yang lengkap dan terstruktur membutuhkan waktu yang tidak sedikit (sekitar 15 hingga 20 menit perpasien). Dengan demikian seorang dokter mesti memiliki prioritas tersendiri tentang apa-apa yang mesti ditanyakan berkaitan dengan penyakit yang ia duga. Tak jarang pula dokter-dokter yang berpengalaman mampu mengenali penyakit hanya dengan sekilas melihat pasien.

Seorang dokter mesti menjadi sosok ilmuwan yang teliti dan penuh keingintahuan terhadap berbagai gejala yang muncul. Di satu sisi, dokter yang baik juga mesti memiliki emotional quotient yang tinggi agar pasien merasa nyaman berada di dekatnya. Singkat kata, dalam anamnesis ini kemampuan dokter untuk berkomunikasi secara menyenangkan mesti terintegrasi dengan kemampuan medis yang tinggi.

Pemeriksaan Fisik

Inilah tindakan yang sering menjadi salah kaprah orang-orang awam terhadap para dokter. Banyak yang berpikir bahwa datang ke dokter mesti diperiksa, dibuka bajunya, didengar dengan stetoskop, serta tindakan-tindakan lain yang tidak terlalu umum dikerjakan masyarakat awam.

Padahal, baik dalam teori dan prakteknya, penegakan diagnosis pasien sebagian besar sudah bisa digali dengan anamnesis. Pemeriksaan yang dilakukan tehadap fisik pasien hanyalah menjadi penguat keyakinan dokter terhadap dugaan penyakit dan kelainan organ yang muncul.

Kalau bisa dibilang jujur, beberapa dokter bahkan melakukan pemeriksaan fisik hanya sebagai ritual plasebo1. Pasalnya, tak bisa dipungkiri bahwa datang ke dokter tanpa ‘dipegang’ oleh dokter tersebut sepertinya kurang afdhal. Jangankan dipegang, beberapa pasien bahkan baru melihat dokternya saja sudah merasa sembuh dan tenang hatinya. Jangan salah, pasien-pasien yang seperti ini tidak hanya berasal dari kalangan pasien kurang terdidik atau pasien yang kurang mampu. Beberapa pasien bonafide pun masih merasa bahwa kehadiran dan
tindakan yang dilakukan dokter mampu memberikan dorongan psikologis terhadap dirinya.

80% kesembuhan penyakit sangat tergantung dari persepsi seorang terhadap kesembuhan dirinya. Sebenarnya yang diutamakan dari seorang dokter ialah usaha dia dalam mencoba menyembuhkan penyakit pasien. Selebihnya, hanya Allah SWT yang mampu menyembuhkan penyakit setiap orang.

Farid Abdul Hadi (Mahasiswa kedokteran UI)