Minggu, 29 Januari 2006

SPB (Sistem Penanganan Bencana) INDONESIA

Air mata ibu pertiwi mungkin sudah kering melihat berbagai bencana yang diterima anak kandungnya entah itu karena ketidaksabaran alam atau karena kesalahan hasil karsa manusia-manusia yang dilahirkan anak kandungnya. Belum dua minggu presiden Susilo menghadiri peringatan setahun bencana nasional tsunami Aceh, kecamatan Banjarmangu, kabupaten Banjarnegara, Jember mendapat bencana Banjir Bandang yang membuat beberapa penduduk menjadi tuna wisma dikarenakan rumah-rumah mereka hancur termakan gelombang air bercampur lumpur longsoran.

Jika dibandingkan dengan air bah yang menyerang Nanggroe Aceh Darussalam kurun waktu lampau, banjir Jember ini bisa dikatakan “nggak ada apa-apanya”. Namun untuk konteks penderitaan, yang dirasakan para korban banjir Jember dan Tsunami Aceh, hal tersebut sama-sama menghasilkan penderitaan yang berat. Perbedaannya adalah tsunami Aceh tidak diprediksikan sebelumnya, berbeda dengan banjir Jember 4 Januari 2006 lalu yang sudah nyaring disuarakan dan diperingatkan oleh berbagai lembaga pemerintahan dan nonpemerintahan terutama yang paling gencar adalah Wahana Lingkungan Hidup (Walhi).

Menurut WALHI, mereka sudah lama menyampaikan kepada Pemerintah Daerah Jember bahwa daerah Jember memiliki potensi untuk mengalami banjir. Jember termasuk dari 23 titik rawan banjir di daerah Jawa Timur yang dikeluarkan tahun 2003. Pemda tidak menanggapi. Padahal banyak sekali kasus banjir bandang yang terjadi sejak tahun 2000 dan bencana tersebut semuanya diperingatkan dan diprediksi sebelumnya. Seakan pemda takabur dan menutup mata terhadap data-data yang ada. Mirip orang yang jatuh dua kali pada lubang yang sama.

BAKORNAS

Tahun 1999 pemerintah telah membuat Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Pengungsian (Bakornas PBP) yang khusus bertanggung jawab dalam menangani berbagai bencana mencakup kegiatan pencegahan, penjinakan/mitigasi, penyelamatan, rehabilitasi, dan konstruksi (Keppres No.3 tahun 2001 pasal 2 ayat 1). Pembentukan Bakornas memiliki maksud agar penanganan dan penanggulangan bencana dapat berjalan dengan cepat, tepat, terpadu, dan terkoordinasi.

Namun cita-cita penanganan dan penanggulangan yang terkoordinasi, cepat, tepat, dan terpadu tidak terealisasi karena kurangnya kekuatan wewenang yang dimiliki Bakornas. Badan ini lebih berfungsi sebagai sekretariat penanganan bencana tanpa fungsi pelaksana (Septo Pradityo, 2005). Bakornas hanya berwenang mengkoordinasikan dan mendelegasikan tugas kepada departemen-departemen yang terkait, dan departemen tersebutlah yang melakasanakan penanganan pencegahan secara langsung.

Apa peran Bakornas selanjutnya? Tidak ada lagi, setidaknya untuk hal-hal yang bersifat aksi konkret. Para departemen yang diberikan wewenang pun belum dapat bekerja dengan leluasa karena kebijakan yang mereka buat harus menunggu persetujuan presiden. Kewenangan departemen untuk penanganan bencana belum secara komprehensif diatur dalam Undang-Undang. Hal inilah yang membuat penanganan bencana di Indonesia berjalan lamban. Jalur birokrasi terlalu panjang dan ribet, bahkan untuk masalah yang berstatus darurat dan membutuhkan respon cepat

RESOLUSI

Oleh karena itu dibutuhkan suatu perombakan menyeluruh pada sistem penanganan bencana yang ada saat ini. Indonesia memiliki banyak situs rawan bencana di dalam peta geologi. Apa pemerintah berencana membahayakan rakyat dengan kelambanan dan buruknya manajemen penanganan bencana?

Pemerintah perlu membuat suatu lembaga yang khusus menangani bencana alam bukan sekedar sebuah sekretariat bencana namun juga memiliki wewenang lebih. Menurut Ginanjar Kartasasmita, sepanjang belum ada lembaga yang menangani secara khusus, penanganan bencana di Indonesia kemungkinan bakal terus berjalan lambat. Pemerintah bisa mencontoh Amerika Serikat yang langsung memberlakukan undang-undang Federation Emergency Management (FEMA) di saat terjadi bencana. Dengan undang-undang tersebut semua produk undang-undang lain tunduk di bawahnya. Undang-undang itu juga menunjuk institusi mana yang berwenang menangani bencana (Tempo Interaktif 17 Januari 2005).

RUU darurat bencana sudah lama dibahas di DPR dan hingga saat ini belum terlihat akan tuntas, setidaknya hingga akhir tahun 2005. Saya pikir pemerintah harus memprioritaskan penyelesaian RUU darurat bencana ini karena seperti biasa, awal-awal tahun adalah saat-saat dimana Indonesia mendapatkan curah hujan yang sangat tinggi. Dengan keadaan alam yang sudah semakin rusak ditambah kurangnya kesiapan infrastruktur penunjang bisa jadi bencana banjir yang datang ini akan lebih dahsyat daripada banjir tahun-tahun kemarin. Keseriusan pemerintah dalam menjawab permasalah bencana ini akan menjamin kenyamanan masyarakat dalam menghadapi musim penghujan tahun ini . Apabila pemerintah tidak mampu belajar dari bencana-bencana yang lalu mungkin masyarakat kembali akan berbondong-bondong tinggal di tenda-tenda pengungsian selama musim hujan ini.

Denny Juzaili (Mahasiswa tahun Pertama Farmasi, UI)
d_juzaili@fastmail.fm

Menggugah Kesalehan Sosial Para Pemimpin Kita

Hari raya Idul Adha adalah salah satu hari raya besar bagi ummat Islam di dunia. Saat ini berjuta-juta muslim dan muslimah sedang mengadakan ibadah haji di Mekkah sebagai salah satu implementasi dari rukun Islam. Dari segi waktu, hari raya Idul Adha 1626 Hijriyah kali ini mempunyai arti mendalam bagi kita muslim di Indonesia. Perayaan hari raya Idul Adha tahun ini berada di tengah-tengah banyaknya bencana menimpa negara ini. Mulai dari peristiwa peledakan bom yang tidak kunjung usai, kenaikan harga BBM, serangan penyakit flu burung, kasus KKN di lembaga negara, hingga terakhir kasus formalin, serta bencana banjir dan longsor.

Tulisan ini berusaha membahas tentang tindakan ‘pemotongan gaji’ oleh Morales, presiden Bolivia yang baru saja memenangkan pemilihan langsung di negaranya (Republika, 20/12/2005), dihubungkan dengan konsep pengorbanan pada momen Idul Adha, dan perbandingannya dengan keadaan di Indonesia saat ini.

Refleksi Spiritual Idul Adha

Secara etimologis, Idul-Adha terdiri dari dua kata itu berasal dari bahasa Arab. Kata pertama Idul berasal dari kata "'aada-ya'uudu-awdatan wa 'iidan" yang berarti kembali. Sedangkan Adha adalah kata kerja yaitu "Adha-Yudhii-Udhiyatan" yang berarti berkorban. Dengan demikian, arti Idul Adha secara sederhana adalah sebuah tekad untuk kembali kepada semangat pengorbanan. Semangat pengorbanan ini tentunya bisa mengacu pada cerita Nabi Ibrahim dan Ismail, yang sama-sama ikhlas dalam menerima perintah Allah untuk menyembelih Nabi Ismail (Ash-Shaffat: 102-105). Kisah yang penuh dengan sikap ketulusan dan mengajarkan kepada kita bahwa segala apa yang kita miliki di dunia ini adalah titipan Allah semata yang sewaktu-waktu bisa diambil oleh Yang Maha Kuasa.

Hikmah Berkurban

Ada hal penting dalam kegiatan Kurban ini. Betapa kita diperintahkan untuk selalu memperhatikan fakir miskin, dan semangat berkurban. Apabila sifat suka berkorban ini meresap ke jiwa seluruh ummat Islam Insya-Allah akan terwujud ketenangan dan kedamaian dalam masyarakat dan akan dekatlah jurang yang memisahkan antara yang kaya dengan yang miskin, antara yang kuat dengan yang lemah, antara penguasa dengan rakyat biasa.

Namun dalam Islam, ibadah kurban bukanlah sekedar mengalirkan darah hewan kurban dan membagi-bagikannya kepada fakir miskin, tetapi juga memiliki nilai dan makna rohaniah yang sangat dalam dan dampak sosial yang sangat besar. Sebagaimana platform Allah dalam surat Al-Haj ayat 37: Bukan daging dan darahnya yang sampai kepada Allah, melainkan ketakwaanmu yang dapat mencapainya.

Permasalahan

Menurut saya, salah satu sumber masalah para pemimpin di negara kita adalah tidak adanya sikap ‘pengorbanan’ yang mencerminkan semangat berkurban di saat hari raya Idul Adha. Saya ingin menjelaskan permasalahan kerelaan ‘berkorban’ yang masih kurang di kalangan para pejabat pemerintahan, baik eksekutif maupun legislatif. Tentu saja ini sangat jauh berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Morales melalui pengorbanannya memotong gaji untuk diserahkan kepada fakir miskin.

Morales dan Pemotongan Gaji

Dalam sebulan terakhir ini, peta perpolitikan dunia sedikit agak memanas dengan terpilihnya presiden baru Bolivia, Morales. Sosok yang beraliran ‘kiri’ ini sangat kontroversial karena dengan lantang berani mengungkapkan ketidaksukaannya kepada Amerika Serikat, negara adikuasa saat ini. sebuah tindakan yang tergolong ‘nekat’ mengingat hampir semua pimpinan dunia tidak berani bertindak demikian, termasuk pemimpin kita. Amerika Serikat pun mulai gusar dan bertambah gerah seiring dibentuknya koalisi trio, Castro (Cuba), Morales (Bolivia), dan Chavez (Venezuela).

Sebagai pemimpin yang baru terpilih, Morales merelakan setengah dari gajinya untuk ‘disedekahkan’ pada sektor pendidikan dan kesehatan agar lebih banyak pegawai bisa dipekerjakan (Kompas, 29/12/2005). Sebuah tindakan terpuji dari seorang pemimpin masa kini yang jarang kita temui. Tindakan ini tentunya secara tidak langsung akan menyentil para pemimpin kita di Indonesia saat ini. Di saat krisis yang sedemikian parah, di saat rakyat menderita kelaparan, di saat semua harga barang naik, para pemimpin kita dengan terbuka dan sedikit semalu-malu serta pura-pura tidak tahu, menaikkan gaji mereka sendiri dan menambah anggaran-anggaran yang tidak perlu. Baik, presiden, wakil presiden, dan bahkan anggota dewan DPR pun seolah berlomba-lomba melakukan penaikan gaji mereka.

Apa yang dilakukan oleh Morales adalah bentuk kongkret dari sebuah tindakan yang dilandasi kesederhanaan dan kedermawanan seorang pemimpin. Kita tentu ingat dengan kesederhanaan dan kedermawanan yang diperlihatkan oleh salah satu pemimpin terkenal Islam, yaitu Umar bin Abdul Aziz. Sifat kerelaan dan kesahajaan ini tentunya sesuai dengan nilai-nilai pengorbanan seperti cerita Nabi Ismail dan Ibrahim. Orientasi Morales bukan pada pemenuhan materil lagi. Unsur kepuasan batin adalah hal yang utama. Baginya, menyenangkan hati rakyat adalah merupakan sebuah proses pemenuhan kebutuhan tertinggi. Menurut terminologi Abraham Maslow, tindakan Morales ini sudah sampai pada pencapaian tingkat aktualisasi diri (suatu tindakan berlandaskan moral yang saat ini mulai menghilang dari pejabat negara kita). Saat ini banyak anggota DPR misalnya yang bersikap oportunis. Oportunis dalam hal pengerukan keuntungan dari segi materil, baik secara legal maupun illegal terhadap harta kekayaan dan fasilitas negara. Para pejabat kita yang disinyalir masih korup itu berada di level pemenuhan kebutuhan primer, masalah perut, yaitu kebutuhan yang paling mendasar. Padahal seharusnya mereka berada di level ‘aktualisasi diri’ dalam hal status sosialnya (social status) menjadi pengayom dan pelayan masyarakat. What a shame!

Contoh Keteladanan

Mungkin ada beberapa nama yang menjadi icon dalam gerakan penghematan atau menolak kemewahan atau juga menggalakkan sifat zuhud dan sederhana. Beberapa waktu lalu kita sempat mendengar ada sekelompok anggota DPR yang menolak pemberian mobil dinas yang mewah. Ada juga yang menolak menginap di hotel berbintang. Tapi jumlah mereka tidak signifikan. Sangat sedikit dan bisa dihitung dengan jari. Sehingga tidak mampu menggerakkan massa DPR yang jumlahnya ratusan orang. Bahkan cibiran dan hinaan kerap menghampiri mereka yang menolak fasilitas-fasilitas mewah dari negara. Sikap mental pemimpin yang lebih senang kepada kemewahan ini menjadi bumerang tersendiri bagi kita sebagai rakyat. Dengan meningkatnya anggaran negara terhadap pos-pos yang sebenarnya tidak perlu dibiayai-seperti jalan-jalan wisata ke Mesir beberpa waktu lalu-ikut memicu peningkatan jumlah RAPBN kita dan berimplikasi pada keterbukaan peluang untuk berutang kepada IMF, CGI dan Bank Dunia lagi.

Penutup

Jika memang Morales yang notabene adalah pemimpin negara yang bukan berpenduduk muslim dan berada di salah satu daftar negara termiskin di dunia, bisa melakukan pemotongan gaji dan mampu menunjukkan kepada rakyatnya untuk bertindak dengan berlandaskan moral dan hati nurani, maka kenapa para pemimpin kita tidak bisa melakukan hal serupa? Padahal negara kita dikuasai oleh pemimpin muslim dan terkenal sebagai negara berpenduduk muslim terbesar dunia, bukan?

Mari kita jadikan hal ini sebagai renungan spiritual. Belum terlambat bagi para pejabat negara ini untuk mengambil tindakan ‘pemotongan gaji’ sebagai resolusi tambahan di tahun 2006 ini. Bersamaan dengan momentum hari raya Idhul Adha ini, hendaknya kita (pemerintah bersama rakyat) bisa melakukan refleksi spiritual bersama dalam mengkampanyekan gerakan kesalehan sosial diantara kita. Semoga dengan adanya kesukarelaan ‘pemotongan gaji’ oleh pejabat tinggi, akan meningkatkan kembali kepercayaan rakyat terhadap pemerintah yang sedang mengalami penurunan pasca kenaikan harga BBM tahun 2004 lalu.

Adlil Umarat (Mahasiswa Sosiologi FSIP, UI)
cuad_nv@yahoo.com

Kamis, 26 Januari 2006

Pendidikan dan Pengembangan Pola Pikir

Aspek Dasar Pendidikan

Dari manusia dilahirkan hingga nafas terakhirnya diudara kehidupan, ada satu aktifitas yang tidak pernah berhenti dilakukannya, yakni pembelajaran. Pembelajaran dalam kaitannya dengan bahasan ini adalah sebuah aspek dasar dari sistem pendidikan yang sampai saat ini terus berkembang.

Pembelajaran adalah sebuah proses dimana manusia melihat sekitarnya, melihat kedalam dirinya, medapatkan pemahaman atasnya dan menjadi dasar setiap aktifitas yang berikut akan dikerjakannya.

Pembelajaran yang baik adalah pembelajaran yang berkelanjutan, pembelajaran yang selalu bersiklus, yakni pembelajaran yang selalu dimulai dari setiap akhir pemahaman yang diperolehnya. Sehingga pemahaman yang didapatkan oleh setiap individu akan berbeda satu sama lainnya. Dan hal ini adalah wajar karena ilmu (yang sedikit Allah berikan kepada masing-masing kita) sungguh melimpah.

Jalan Pintas Pembelajaran

Membaca pemahaman seseorang berikut konklusi dan analisisnya adalah salah satu cara mendapatkan pemahaman melalui jalan pintas. Proses yang pemilahan terhadap suatu fenomena akan menjadi lebih mudah dengan melihat bagaimana seseorang menyelesaikan masalah, bagaimana seseorang memiliki sebuah kerangka pemecahan masalah yang dinamis, bagaimana seseorang memandang sebuah permasalahan dan menyimpulkan faedah yang didapatkannya.

Membaca pemahaman seseorang dapat dilakukan dengan berbagai cara, dimulai dari melihat tindakan, membaca biografi, membaca buku, hingga pada tahapan interaksi frontal dengan individu tertentu.

Semakin banyak sang individu melakukan jalan pintas dalam Pembelajaran semakin banyak pula pola pikir yang menumpuk dalam pikirannya, sehingga terkadang bila ia tidak berusaha mensinergikan dengan pola pikirnya sendiri, membuatnya lebih beralur, menjadi pemahaman yang berkelanjutan atau hanya memahami tanpa berusaha menyesuaikan dengan kondisi realita yang sedang dihadapinya. Hal ini yang menyebabkan “linglung”, proses yang sama dialami oleh Freud (Bapak Psikologi) ketika mencoba menganalisis dirinya dengan berbagai kepribadian.

Pembelajaran dan Pendidikan

Pendidikan adalah suatu upaya sistematis dalam mendistribusikan ilmu pengetahuan. Bila pembelajaran adalah suatu upaya untuk memperoleh ilmu pengetahuan, maka pendidikan adalah suatu alur untuk menciptakan pembelajaran.

Sehingga pendidikan selalu mempunyai tujuan dan arahan. Sering kali kita melihat bahawa arahan pendidikan sering kali mengenai sesuatu yang abstrak seperti kualitas, kompeten, dan lain sebagainya. Dalam realita patut kita mensederhanakan konsep teoritis tersebut atau memberi penjelasan lanjutan seperti, berkualitas dalam kelimuan tertentu, berkualitas dalam aspek tertentu, sehingga hal tersebut bisa lebih mudah diaplikasikan untuk menopang pembangunan masyarakat, yang agraris, yang hi-tec, atau yang lain sebagainya.

Pengembangan Pola Pikir

Pada dasarnya pengembangan pola pikir adalah hasil reaktif dari adanya pembelajaran yang berkelanjutan, sistem pendidikan yang terarah dan pemahaman sang individu yang mendalam akan nilai-nilai yang essensial dalam kehidupan, yang menyangkut nilai-nilai humanity yang universal.

Pengembangan pola pikir adalah nsuatu hal yang mahal yang dapat disuguhkan oleh pembelajaran berkelanjutan dan pendidikan yang terarah. Pengembangan pola pikir bukanlah suatu hal yang bisa dituntut dari seorang individu, karena hal tersebut berasal dari hasil reaktif terhadap kegiatan pembelajaran berkelanjutan dan pendidikan yang terarah. Yang berarti bagaimana pembelajaran berkelanjutan dan pendidikan yang terarah dapat disinkronkan dalam aspek-aspek tertentu, sehingga tidak keseluruhan sistem pendidikan dimonopoli untuk kebutuhan sang pendididik, atau negara yang mensistematisasi pendidikan, ambillah sebagian kecil dari pendidikan untuk kepentingan masyarakat, negara dan bangsa dan berikan sebagian besarnya untuk menopang pembelajaran berkelanjutan sang individu.

Kritik Pendidikan

Dari hasil yang diuraikan diatas, pembelajaran berkelanjutan sang individu sering kali dicekal oleh sistematisasi pendidikan, padahal pendidik, negara tidak mampu menampung individu-individu yang sengaja diarahkan. Hal yang terjadi ini bukan saja merengut kebebebasan sang individu, tapi menyuguhkan kebohongan atas masa depan sang individu, dia yang mengarahkan untuk kepentingan tertentu maka dia harus bertanggung jawab atas arahannya itu.

Sistem pendidikan Indonesia yang kini berarah kepada sistem yang berpihak pada siswa aktif, student aktif learning, tidak akan bisa memenuhi nilai pembelajaran berkelanjutan selama tidak memberikan nlai penuh sang pembelajar sebagai subyek yang berhak menentukan apa yang ingin dipelajarinya.

Aspek dasar dari pendidikan adalah pembelajaran, yang intinya membentuk kepribadian-kepribadian yang memahami secara mendalam akan nilai-nilai dalam kehidupan, karena pendidikan dan pembelajaran adalah suatu upaya menambah nilai dari suatu kegiatan. Inilah yang sedikit terlupakan dari pendidikan modern.

Abdullah Arifianto (Mahasiswa Teknik Mesin, UGM)

Jumat, 20 Januari 2006

Apa yang Dokter Lakukan di Ruang Prakteknya? (bagian satu dari dua tulisan)

Banyak yang bukan berlatar belakang medis mungkin bertanya, mengapa kita mesti membayar jasa dokter begitu mahal untuk sebuah pelayanan yang hanya beberapa menit saja. Biaya ini belum termasuk harga obat yang mesti ditebus di apotek serta biaya ini-itu yang jumlahnya juga tidak sedikit.

Pertanyaan di atas sering terlontar di kalangan awam dan tak jarang menjadi alasan utama mengapa seseorang –terutama dari kalangan sosial menengah dan menengah ke bawah- memilih untuk tidak berobat ke dokter jika dirinya sedang sakit. Pertanyaan ini pulalah yang membuat larisnya pengobatan-pengobatan alternatif, dukun modern, serta tabib-tabib yang keliling kampung. Jika ditinjau dari segi kesehatan makro dan mikro, fenomena ini pula yang menjadikan taraf kesehatan masyarakat Indonesia masih jauh dari menggembirakan. Alih-alih menjadi sembuh, tak sedikit yang akhirnya pergi ke dokter dengan tujuan ‘mereparasi’ hasil pengobatan alternatif yang memperburuk penyakit.

Para pasien yang datang ke dokter dengan berbagai keluhan sebenarnya merupakan gunung es dari total masyarakat Indonesia, terutama di pedesaan yang sebenarnya sakit namun tidak memilih untuk pergi ke dokter. Pemerintah pun kesulitan mendata ratusan jenis penyakit, terutama penyakit tropik infeksi, yang telah dan pernah terjadi di negara ini. Sedangkan untuk menentukan kemakmuran suatu bangsa dalam Human Development Index, kesehatan menempati prioritas penilaian yang tinggi bersama pendidikan dan ketersediaan pangan. Karenanya, tak heran kalau sampai sekarang negara kita belum bisa dibilang makmur.

Life-Long Study

Mengapa kita mesti datang ke dokter? Jawaban yang utama ialah karena kita ingin sembuh dari suatu penyakit. Kemudian mengapa mesti ke dokter, sedangkan terdapat media-media lain yang dikabarkan mampu melakukan pengobatan yang mujarab. Jawabannya karena ilmu kedokteran merupakan salah satu cabang ilmu tertua di dunia dan selalu mengalami revisi yang bermakna dari waktu ke waktu. Itulah sebabnya seorang dokter yang baik akan senantiasa menerapkan prinsip life-long study, pembelajaran yang tiada akhir.

Bisa jadi metode pengobatan di tahun 2005 ini akan mengalami perubahan 1800 di tahun yang akan datang. Menurut para dosen di fakultas kedokteran, sebagian besar ilmu yang diperolehnya di waktu kuliah sudah tidak layak diterapkan lagi untuk pengobatan zaman sekarang. Bukan berarti masa kuliahnya menjadi sia-sia, namun pembelajaran di waktu kuliah akan sangat membantu pemahaman yang baik mengenai proses terjadinya penyakit dan penatalaksanaannya.

Sebenarnya dalam dunia kedokteran pun telah dikenal berbagai metode pengobatan yang sebagian telah diakui melalui Randomized Controlled Trial (RCT)1 seperti akupunktur, metode pengobatan cina, beberapa ramuan jamu, serta metode lainnya yang sangat bervariasi dari berbagai negara. Semua metode ini dikelompokkan sebagai alternative and traditional medicine (ATM). Nah, ATM yang sudah melalui RCT di Indonesia tidak banyak jenisnya. Yang sudah diakui secara internasional hanyalah akupunktur dan pengobatan cina. Di luar dari itu, tidak pernah teruji atau tidak pernah diuji keabsahannya.

Memang, banyak yang mengeluh datang ke dokter bukannya menjadi sembuh malah sering menjadi sakit. Apalagi jika dokter yang menangani terlihat kurang profesional dan kadang membuat kesalahan di depan pasiennya. Namun demikian, tetap saja apa yang telah dokter pelajari merupakan proses dari revisi ilmu kedokteran yang terjadi terus-menerus. Mungkin kesalahan yang terjadi atau ketidakpuasan pasien ialah salah persepsi dengan apa yang telah dilakukan dokternya.

Apa yang Dikerjakan Dokter?

Pada prinsipnya profesi dokter terbagi menjadi beberapa subtipe. Ada dokter yang berkiprah di pemerintahan dan penentu kebijakan, seperti para dokter yang berada di Departemen Kesehatan. Ada juga yang berorientasi pengembangan kedokteran internasional, seperti para dokter yang berada di UN Agency macam Unicef, WHO, Unesco, dll. Ada pula dokter yang memilih bekerja di perusahaan farmasi, kosmetik, makanan, hingga ada pula yang memilih untuk menjadi artis. Sedangkan sisanya, yang terbanyak kita temui, ialah dokter yang berprofesi sebagai klinisi atau klinikus, yakni dokter yang brtugas menyembuhkan orang yang sakit.

Sebagian besar mindset yang tergambar di pikiran masyarakat ialah dokter yang berjas putih, mengalungi stetoskop, berkaca mata, dan bertugas menyembuhkan orang sakit. Profesi demikianlah yang memang membuat pendidikan dokter tersohor dengan lama dan beratnya. Seorang dokter yang baik mesti menguasai struktur dan fungsi dasar manusia sehat serta manusia yang sakit. Khusus masalah sakit, seorang dokter juga mesti memahami ratusan penyakit yang ada di dunia. Itulah sebabnya profesi dokter sering dipilah-pilah menjadi spesialistik tertentu. Meski demikian, dokter spesialis apapun wajib melalui pendidikan dokter umum dan menguasai penyakit manusia secara keseluruhan.

Dalam praktek dokter, pada dasarnya kegiatan yang dilakukan ialah menegakkan diagnosis1 serta melakukan tata laksana terhadap pasien yang sakit. Menegakkan diagnosis dilakukan dengan beberapa langkah dasar, yakni melakukan wawancara (anamnesis) kepada pasien atau keluarganya, kemudian melakukan pemeriksaan jasmani terhadap organ yang kemungkinan terpengaruh penyakit tertentu, serta melaksanakan pemeriksaan penunjang dengan bantuan alat-alat medis yang lebih canggih. Tahap-tahap inilah yang penting dalam menegakkan diagnosis dan tidak semua tahap mesti dilakukan.

Anamnesis

Wawancara terhadap pasien bisa dilakukan secara alloanamnesis (menanyakan kepada keluarga atau pendamping pasien) serta autoanamnesis (bertanya langsung pada si sakit). Anamnesis merupakan tahap paling penting dalam menegakkan diagnosis penyakit. Beberapa pakar menyebutkan bahwa 60 sampai 99% persen diagnosis penyakit dapat disimpulkan dari anamnesis. Sisanya baru dilengkapi dengan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.

Sistematika anamnesis terdiri dari keluhan utama (keluhan yang membawa pasien untuk datang mencari pertolongan medis), riwayat penyakit yang terjadi sekarang, riwayat penyakit terdahulu, riwayat penyakit keluarga dan lingkungan, keadaan sosioekonomi, serta keadaan psikologis pasien.

Teorinya, semua hal yang tercantum dalam komponen anamnesis merupakan hal yang tak boleh ditinggalkan guna menghasilkan diagnosis yang akurat. Namun pada prakteknya, anamnesis yang lengkap dan terstruktur membutuhkan waktu yang tidak sedikit (sekitar 15 hingga 20 menit perpasien). Dengan demikian seorang dokter mesti memiliki prioritas tersendiri tentang apa-apa yang mesti ditanyakan berkaitan dengan penyakit yang ia duga. Tak jarang pula dokter-dokter yang berpengalaman mampu mengenali penyakit hanya dengan sekilas melihat pasien.

Seorang dokter mesti menjadi sosok ilmuwan yang teliti dan penuh keingintahuan terhadap berbagai gejala yang muncul. Di satu sisi, dokter yang baik juga mesti memiliki emotional quotient yang tinggi agar pasien merasa nyaman berada di dekatnya. Singkat kata, dalam anamnesis ini kemampuan dokter untuk berkomunikasi secara menyenangkan mesti terintegrasi dengan kemampuan medis yang tinggi.

Pemeriksaan Fisik

Inilah tindakan yang sering menjadi salah kaprah orang-orang awam terhadap para dokter. Banyak yang berpikir bahwa datang ke dokter mesti diperiksa, dibuka bajunya, didengar dengan stetoskop, serta tindakan-tindakan lain yang tidak terlalu umum dikerjakan masyarakat awam.

Padahal, baik dalam teori dan prakteknya, penegakan diagnosis pasien sebagian besar sudah bisa digali dengan anamnesis. Pemeriksaan yang dilakukan tehadap fisik pasien hanyalah menjadi penguat keyakinan dokter terhadap dugaan penyakit dan kelainan organ yang muncul.

Kalau bisa dibilang jujur, beberapa dokter bahkan melakukan pemeriksaan fisik hanya sebagai ritual plasebo1. Pasalnya, tak bisa dipungkiri bahwa datang ke dokter tanpa ‘dipegang’ oleh dokter tersebut sepertinya kurang afdhal. Jangankan dipegang, beberapa pasien bahkan baru melihat dokternya saja sudah merasa sembuh dan tenang hatinya. Jangan salah, pasien-pasien yang seperti ini tidak hanya berasal dari kalangan pasien kurang terdidik atau pasien yang kurang mampu. Beberapa pasien bonafide pun masih merasa bahwa kehadiran dan
tindakan yang dilakukan dokter mampu memberikan dorongan psikologis terhadap dirinya.

80% kesembuhan penyakit sangat tergantung dari persepsi seorang terhadap kesembuhan dirinya. Sebenarnya yang diutamakan dari seorang dokter ialah usaha dia dalam mencoba menyembuhkan penyakit pasien. Selebihnya, hanya Allah SWT yang mampu menyembuhkan penyakit setiap orang.

Farid Abdul Hadi (Mahasiswa kedokteran UI)

Apa yang Dokter Lakukan di Ruang Prakteknya? (bagian dua dari dua tulisan)

Apa Saja yang Diperiksa Dokter?

Pemeriksaan jasmani/fisik merupakan prosedur standar yang sebaiknya meliputi seluruh organ tubuh manusia, mulai dari ujung rambut hingga ke ujung kaki. Pada prinsipnya, bisa saja organ-organ tertentu mengalami kerusakan dan tidak terdeteksi atau dirasakan pasien. Dosen-dosen mengajarkan, dokter mesti mampu menjadi detektif ulung sekaligus ustadz yang berbudi. Dokter yang berkecimpung di bidang penyakit dalam, terutama geriatri1 tentu akan melakukan pemeriksaan fisik yang detail dan menyeluruh, sebab tidak semua pasien mampu menceritakan keluhannya dengan baik.

Sementara dokter bedah yang bertugas jaga di instalasi gawat darurat tentu lebih memperhatikan organ-organ tertentu saja yang sedang mengalami kerusakan. Tidak perlu melakukan pemeriksaan rambut sedangkan kaki pasien sudah ‘buntung’ dan memerlukan penyambungan segera.


Di antara berbagai tipe penyakit, terdapat beberapa penyakit yang menjadi frequent patient complain. Di negara manapun, common cold (bahasa kerennya: meriang atau masuk angin; batuk pilek nggak enak badan) menempati urutan pertama penyakit yang membuat pasien pergi ke dokter. Di indonesia, disusul oleh berbagai penyakit tropik, seperti Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA), demam tifoid (tifus), demam berdarah Dengue, apendisitis (usus buntu), serta penyakit-penyakit degeneratif (penyakit orang lanjut usia) macam diabetes, hipertensi, sindrom dispepsia, dll.

Beberapa contoh pemeriksaan fisik yang sering dokter lakukan ialah auskultasi1 bunyi paru (pernapasan) serta bunyi jantung. Bunyi pernapasan menjadi penting didengar karena banyak sekali pasien yang datang dengan keluhan gangguan pernapasan, berupa pilek, batuk, terutama batuk berdahak dan berkepanjangan. Auskultasi jantung juga penting dilakukan karena penyakit jantung sering menyerupai manifestasi penyakit-penyakit lain. Selain auskultasi dada, auskultasi perut juga dilakukan untuk mengetahui bising usus (kriuk,,kriuk,,). Selebihnya, pemeriksaan disesuaikan dengan dugaan tentang penyakit tersebut. Bisa dari mata, gigi, gusi, tangan, kaki, dan sebagainya.

Mengapa Bayar Mahal?

Ketika dokter dihadapkan pada penyakit tertentu, yang ada di pikiran mereka ialah struktur anatomis dan fisiologi manusia serta kemungkinan kerusakan organ akibat penyebab tersebut. Karenanya, seorang dokter mesti bersekolah sangat lama dan nantinya ilmu dari sekolahannya dulu akan kurang berguna lagi. Dokter yang baik akan terus memperbarui ilmunya yang berubah bukan dalam hitungan puluhan tahun, namun dari bulan ke bulan, karena kesehatan merupakan lahan yang subur untuk penelitian, banyak biaya, banyak kepentingannya, tak heran biaya untuk memperoleh ilmu tersebut tidaklah sedikit.

Sebagai gambaran, di samping mahasiswa kedokteran yang memang biaya pendidikannya sangat jauh melampau mahasiswa lainnya, para mahasiswa ini pun mesti rela waktu mudanya dihabiskan untuk belajar dengan giat sebaik mungkin agar tidak ketinggalan sedikitpun. Calon Dokter yang agak malas belajar sebenarnya bisa dikatakan dapat membahayakan kualitas hidup manusia ketika nanti dia praktek di masyarakat.

Belum lagi para dokter spesialis yang setiap tahun mesti memperbarui ilmunya dengan mengikuti konferensi tingkat nasional serta kongres internasional dan regional. Tak heran dokter-dokter tersebut sering bolak-balik ke luar negeri. Selain menghadiri pertemuan ilmiah, mereka pun mesti membangun relasi dengan dokter di negara lain agar kualitasnya tidak kalah di mata dunia.

Kuliahnya melelahkan, biaya kuliahnya mahal, membutuhkan nalar dan kemampuan berpikir yang tinggi, mesti memperbarui ilmu terus-menerus, ditambah sering dituntut jika sedikit saja melakukan (dugaan) kesalahan, merupakan sebagian alasan yang menyebabkan biaya kesehatan memang mesti tinggi, di manapun dia berada.

Kecuali kamu tinggal di Kuba atau Vietnam, pemerintah di sana membiayai semua pelayanan kesehatan dari primer hingga tersier (yang canggih-canggih). Sedangkan di Amerika dan Eropa (barat) hampir semua penduduknya mesti memiliki asuransi kesehatan. Dengan demikian masyarakat mesti membayar premi, bukan jasa. Di negara kita, sistem yang dipakai ialah fee for service, out of pocket, yakni dokter dibayar dari kantong pasien yang bersangkutan. Namun bedanya, di sini ada Askes untuk pegawai negeri dan Jaring Pengaman Sosial (JPS) Keluarga Miskin (Gakin) untuk orang-orang miskin.

Malah Memperburuk

Satu kasus medis yang sering sekali menjadi contoh mengenai keengganan pasien berobat ke dokter kemudian malah memperburuk keadaan ialah patah tulang. Patah tulang (fraktur) secara gampang memiliki arti diskontinuitas rangka manusia. Kasus medis ini relatif mudah ditangani oleh dokter umum, serta memiliki prognosis yang baik jika diterapi dengan baik.

Sayangnya, 80% orang yang patah atau diduga patah tulangnya, terutama akibat kecelakaan, bukannya dibawa ke dokter namun lebih memilih diantar ke dukun, tabib, atau ahli patah tulang terdekat. Alasannya macam-macam, bukan saja sekedar enggan membayar lebih untuk ke dokter, namun ada juga yang beralasan, di dokter sembuhnya lama, repot karena mesti digips, atau takut dioperasi.

Padahal, pengobatan patah tulang yang paling utama ialah imobilisasi, yakni menjaga tulang yang patah tidak (banyak) bergerak dari posisi normalnya. Dengan demikian, kalau tulangmu patah dan kamu pergi ke dokter, niscaya kamu akan dibantu supaya tulangmu yang patah tidak banyak berpindah dari posisi normalnya dengan cara diberi gips. Cukup simpel. Sebagai pelengkap, kamu mungkin akan diberikan pain reliever (analgetik) atau antiinflamasi (antiradang) jika terdapat tanda-tanda peradangan di daerah tulang yang patah. Antibiotik tidak banyak diberikan kecuali terdapat luka terbuka yang menganga lebar. Antibiotik dan imunisasi (antitetanus) ini biasanya diberikan dengan cara disuntik.

Pasalnya, tulang manusia merupakan organ yang sangat mudah berproliferasi dan regenerasi dengan cepat asalkan dipertemukan dengan organ lain yang berdekatan. Jadi, kalau tulangmu patah dan tidak digips, malah diurut (baca: dipaksa) agar bentuknya kembali seperti semula, dikhawatirkan ada fragmen tulang yang malah terpisah dari pasangannya, kemudian menjauh, sehingga proses penyembuhannya berlangsung tidak optimal. Lebih lama, lebih sakit, dan tak jarang, hasil akhirnya, bentuknya jadi aneh; miring-miring, bengkok, dsb. Kalau sekedar bengkok di tangan sih nggak terlalu masalah. Namun jika bengkok ini di kaki (tungkai), seumur hidup orang tersebut akan jalan pincang.

Dari 80% pasien patah tulang yang akhirnya ke dukun, sekitar 85-90% akan kembali ke dokter dengan berbagai keluhan. Ada yang miring-miring dan pincang (nonunion postfracture os tibiofibula), ada yang jadi borokan di tulang karena infeksi (osteomyelitis), ada juga yang nggak kuat menahan sakit dan merasa ngeri karena setiap hari mendengar gesekan tulang-tulang yang tidak diimobilisasi.

Dengan demkian, sebisa mungkin jika sakit, pilihlah dokter yang dipercaya dan berobatlah ke sentra pengobatan terdekat. Jika kurang mampu ke dokter spesialis, silakan ke dokter umum, jika kurang mampu juga, bisa ke Puskesmas atau RS Pemerintah.

Zaman sekarang sebenarnya semua kalangan bisa tertolong untuk pergi ke pengobatan yang benar. Para karyawan biasanya dijamin oleh kantornya dengan asuransi. Para pegawai negeri memiliki Askes untuk berobat ke puskesmas dan rumah sakit pemerintah. Para keluarga militer bisa mendapatkan jaminan kesehatan untuk berobat, terutama di rumah-rumah sakit militer. Orang-orang yang miskin bisa mengurus surat keterangan miskin untuk memperoleh JPS-Gakin agar bisa berobat gratis di rumah sakit pemerintah.

Yang jadi masalah ialah repotnya birokrasi untuk mengurus beberapa hal di atas serta keengganan masyarakat untuk mengurus hal tersebut. Sebagian pasien juga ada yang merasa gengsi untuk mengurus surat Gakin atau menggunakan Askes. Sebagian lagi dari karyawan swasta masih ada saja yang melebih-lebihkan kwitansi pengobatan agar mendapat penggantian yang lebih besar. Alih-alih jadi untung, ketika besok-besoknya dia sakit, justru perusahaan menjadi kurang percaya dengannya.

Lepas dari itu semua, yang paling penting sebenarnya ialah MENJAGA KESEHATAN. Inilah nikmat termahal yang diberikan Allah kepada kita. Jagalah sebaik mungkin, sebab pengobatan hanyalah menyembuhkan sekitar 20% dari fungsi tubuh secara normal. Yang paling utama ialah bagaimana kita menjaga agar jangan sampai menjadi sakit. Sedia payung sebelum hujan, prevention is much better than curation.

Farid Abdul Hadi (Mahasiswa Kedokteran UI)

Jumat, 06 Januari 2006

Teknologi dan Masyarakat

Mampukah teknologi meningkatkan kesejahteraan masyarakat? Jawabannya harus ya, karena teknologi diciptakan untuk mempermudah kehidupan manusia. Namun pada kenyataannya, teknologi bukan hanya sebatas alat untuk mempermudah kehidupan manusia. Keberadaan suatu teknologi terkait erat dengan faktor sosial-ekonomi. Seperti keberadaan IPTN(kini PT DI) yang kelangsungannya terkait erat dengan keadaan moneter.

Pada tahun 1996, salah satu topik yang hangat diperbincangkan adalah keberhasilan Indonesia membuat pesawat. Keberhasilan ini kemudian diabadikan dalam momen Indonesia Air Show(IAS) 1996, dimana Gatot Kaca menjadi primadona diantara pesawat tempur-pesawat tempur dari Amerika dan Rusia yang turut memeriahkan ajang bertaraf internasional tersebut.

Sayangnya kebanggaan masyarakat Indonesia akan keberhasilan Gatot Kaca bukan jaminan keberlangsungan pembuatan pesawat-pesawat nusantara lainnya. Krisis tahun 1997 silam, mengakibatkan IPTN, harus melakukan banyak perampingan, mulai dari alokasi dana hingga pengurangan tenaga kerja. Pro-kontra IPTN pun mulai mengemuka ke wilayah publik. Pihak pro menilai IPTN sebagai sebuah aset jangka panjang yang harus dipertahankan. Sedangkan salah satu alasan yang dilontarkan oleh pihak kontra adalah, masyarakat Indonesia saat ini lebih membutuhkan teknologi tepat guna yang dapat mendukung kehidupan masyarakat secara langsung. Teknologi tepat guna inilah yang seharusnya memperoleh prioritas.

Terlepas dari pro-kontra PT DI dengan teknologi tingginya, teknologi seharusnya tidak hanya menjadi milik sebagian elit. Kaum elit ini adalah orang-orang yang memahami dan memiliki akses pada teknologi. Secara alami kaum elit ini tidak terhindarkan, karena untuk memahami suatu teknologi diperlukan pendidikan, pelatihan serta praktek yang membutuhkan waktu. Namun keadaan ini tidak boleh dibiarkan dengan memfokuskan penerapan teknologi pada tempat atau kalangan terbatas. Penerapan teknologi yang terpusat di kota-kota besar misalnya, menyebabkan desa ditinggalkan oleh orang-orang usia produktif. Selain itu, desa yang ditinggalkan cenderung masih menggunakan pola-pola pengolahan hasil perkebunan atau pertanian secara konvensional.

Dalam tulisannya yang berjudul Perspektif Pengembangan Teknologi Tepat Guna, Prof. Dr. Muhammadi Siswo Sudarmo mengungkapkan, ada empat parameter keberhasilan sebuah teknologi. Faktor pertama adalah kelayakan teknis. Faktor kedua, teknologi harus menghasilkan produktivitas ekonomi atau keuntungan finansial. Faktor ketiga, teknologi harus dapat diterima oleh masyarakat pengguna. Dan yang terakhir, teknologi harus serasi dengan lingkungan.

Hal menarik yang diungkapkan oleh Prof. Dr. Muhammadi mengenai penerapan teknologi di daerah pedesaan--yang masyarakatnya termasuk golongan menengah kebawah--adalah adanya sindrom kemiskinan. Sindrom ini merupakan keadaan masyarakat yang pasrah akan kemiskinannya, dan tidak merasa perlu atau tidak mampu untuk berjuang meningkatkan kesejahteraannya. Adanya sindrom ini berpengaruh pada keberhasilan teknologi faktor ketiga. Selain karena adanya sebuah ‘kemapanan’ akan kondisi mereka, teknologi tepat guna juga sering dipandang sebagai benda asing. Hal ini terungkap dari penerapan teknologi tepat guna di beberapa kecamatan. Seperti tungku Singer yang efisien, kurang berhasil karena tidak diminati oleh masyarakat.

Pada masyarakat perkotaan, teknologi hadir disertai sebuah proses. Masyarakat pengguna mengetahui darimana asal serta manfaat sebuah teknologi. Sedangkan di masyarakat pedesaan, teknologi lebih sering diadopsi. Artinya, keinginan akan perubahan tidak datang dari masyarakat itu sendiri melainkan dari luar. Keadaan ini cocok dengan gambaran sindrom kemiskinan, yaitu tidak mau merubah kondisi yang ada pada diri mereka, apalagi dengan menerima sebuah cara-cara baru dalam bertanam, mengolah minyak sawit, mengawetkan manisan nanas dll.

Ada dua persoalan penting yang menyebabkan teknologi sulit memasyarakat. Pertama, dari segi teknologi itu sendiri. Pada kasus teknologi hasil adopsi, ada kemungkinan teknologi yang dibawa tidak sesuai dengan topografi, kondisi sosial-ekonomi masyarakat yang akan menggunakan teknologi tersebut. Seperti, penggunaan kincir angin sebagai penghasil listrik. Tidak di semua tempat kincir angin efisien, bagi Indonesia yang daerahnya senantiasa memperoleh sinar matahari, mungkin lebih efisien jika menggunakan pembangkit listrik tenaga surya. Selain itu, untuk daerah pedesaan, teknologi yang muncul pada umumnya merupakan hasil dari pengamatan ahli yang berasal dari luar. Akibatnya, teknologi yang dihasilkan merupakan perkiraan/pendekatan dari penafsiran ahli tersebut terhadap kebutuhan suatu desa.

Persoalan kedua muncul dari masyarakat pengguna. Tradisi atau cara-cara tradisional yang mereka lakukan secara turun temurun cukup sulit diubah. Dari beberapa cerita yang penulis peroleh, penerapan teknologi tepat guna lancar selama proses pendampingan. Namun saat memasuki tahap pengawasan yang dilakukan dengan periode waktu tertentu, masyarakat pada umumnya kembali menggunakan pola-pola lama. Hambatan dari masyarakat juga disebabkan karena minimnya informasi akan apa yang mereka lakukan. Ada kasus suatu daerah yang terbuka akan perubahan, namun kesempatan ini dimanfaatkan oleh suatu produsen untuk menciptakan ketergantungan masyarakat desa pada satu produk ini.

Selain itu permasalahan banyaknya tengkulak serta tarikan-tarikan tidak resmi dari berbagai oknum juga memperumit hubungan antara teknologi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dari uraian di atas terlihat bahwa teknologi tidak sebatas bagaimana menciptakan mesin-mesin canggih yang efektif dan efisien, namun juga meliputi persoalan sosial, budaya, manajemen serta komunikasi.

Karena itu nama pesawat Gatot Kaca yang diambil dari tokoh dalam pewayangan, selayaknya tak hanya menjadi bagian dari sejarah. Sebagaimana kisahnya yang mampu bertransformasi setelah masuk ke kawah candradimuka, yang menjadi tugas kita adalah: bagaimana memanfaatkan kawah candradimuka bernama tantangan global, menjadi sebuah sarana untuk melahirkan Gatot Kaca-Gatot Kaca baru yang mampu mensejahterakan rakyat? []

Yuti Ariani (Mahasiswa Matematika ITB)
Jl. Cihapit no. 9
Bandung 40114
(022) 4206377
0815 6069 266