Minggu, 23 April 2006

Perempuan

Merdeka Melaksanakan Dharma. Itulah semboyan pada lambang Hari Ibu, yang mengandung arti dengan tercapainya persamaan kedudukan, hak dan kewajiban dengan kaum laki-laki sebagai mitra sejajar, darma bakti laki-laki dan perempuan Indonesia kepada keluarga, masyarakat, bangsa dan negara dapat diwujudkan sepenuhnya. Hari yang diperingati tiap tanggal 22 Desember berdasarkan Kongres III Perempoean tahun 1938 tersebut telah menjadi hari nasional, namun selain menjadi bagian dari rutinitas tahunan, hal apa yang bisa kita peroleh?

Jawabannya bisa berbeda-beda. Meski demikian, jika ditilik dari fenomena sosial, dampak hari Ibu terlihat dari meningkatnya tulisan-tulisan, iklan layanan masyarakat hingga iklan komersil yang mengangkat perempuan. Sudut yang digunakan beragam, mulai dari kampanye kesetaraan gender, meningkatkan kesadaran masyarakat akan ancaman trafficking, serta iklan yang menggunakan momen hari Ibu untuk mempromosikan produknya.

Perempuan senantiasa menjadi perbincangan hangat. Mulai dari masalah mode, gosip, masak hingga yang menyangkut wilayah publik. Wacana mengenai kehidupan perempuan yang ideal memang tak pernah surut. Hal ini terkait langsung dengan posisi perempuan sebelum tahun 1990-an yang mayoritas berkutat pada masalah domestik dan jabatan-jabatan sekunder dalam dunia kerja.

Dalam Megatrends 2000, Naisbitt menyebutkan bahwa perempuan telah mencapai massa kritis di hampir semua profesi pekerja kantor, khususnya di dalam perusahaan. Namun pada tahun 1990, tempat kerja adalah dunia yang sangat berbeda. Sejak tahun 1972 hingga 1990, presentase perempuan yang menjadi dokter naik dua kali lipat. Perempuan menguasai sekitar 39,3 persen dari 14,2 juta pekerjaan eksekutif, administratif dan manajemen, menurut Biro Statistik Tenaga Kerja(Amerika Serikat-penulis), meningkat hampir dua kali lipat angka tahun 1972.

Pergeseran posisi perempuan dari domestik ke sektor publik berimplikasi langsung pada wacana mengenai pembelaan hak-hak perempuan. Di Indonesia, pengaruh gerakan pembela perempuan misalnya, telah membuahkan UU-Anti KDRT yang mengatur mengenai kekerasan dalam rumah tangga. Perjuangan perempuan memperoleh hak-haknya juga telah menciptakan sebuah persaudaran tersendiri diantara perempuan dari berbagai kalangan.

Lalu bagaimana Islam memandang perempuan? Jika ditilik dari sejarah, Islam merupakan salah satu titik balik kedudukan perempuan. Pada masa jahiliyah, pra-Islam, perempuan hanya dijadikan sebagai komoditas yang dapat diperjualbelikan dan diberikan sebagai hadiah. Selain itu posisinya dianggap sangat rendah sehingga ketika ada yang melahirkan bayi perempuan, bayi yang baru saja merasakan kehidupan dunia tersebut langsung dikubur hidup-hidup.

Cara pandang perempuan sebagai masyarakat kelas dua, tidak hanya terjadi di wilayah Arab pra-Islam, melainkan telah berjalan selama ratusan tahun. Dalam Undang-undang Manu misalnya, disebutkan bahwa perempuan sepanjang hidupnya tidak pernah memiliki hak-haknya sendiri dalam melakukan segala tindakan yang diinginkannya sehingga dalam urusan domestik pun mereka tidak diberi kesempatan. Baru ketika Islam datang, perempuan diangkat derajatnya dan diberi penjagaan khusus agar mampu melindungi keistimewaan yang ada pada dirinya.

Pertanyaan yang sering muncul mengenai posisi perempuan Islam adalah ketika posisi tersebut dikaitkan hak dan kewajiban dengan kaum laki-laki. Namun mungkinkah segala perbedaan mulai dari fisik hingga mental dapat disamakan begitu saja? Dalam buku Emansipasi, Adakah dalam Islam, perbedaan kewajiban perempuan dan laki-laki disebabkan oleh jenis manusia yang memiliki tabi’at dan sifat kemanusiaan yang berbeda satu dengan yang lainnya. Sehingga penanganannya pun harus dikhususkan untuk setiap jenis, tidak bisa sekadar generalisasi sebagai manusia.

Adanya perbedaan dalam hak dan kewajiban antara perempuan dan laki-laki seperti busana tertutup bagi perempuan, hak waris pria yang lebih besar, posisi perempuan dalam persaksian, kepatuhan seorang perempuan pada suaminya dll nyatanya tidak menghambat perempuan untuk beraktivitas. Hal ini terlihat dari peranan Khadijah dalam dunia perekonomian, Aisyah berperan besar dalam periwayatan hadits, Fathimah yang dengan kesabaran dan sikap zuhudnya memberi peneladanan terhadap bagaimana bersikap kepada orang yang tidak mampu, meski dirinya sendiri berada dalam kondisi kekurangan.

Kekhususan yang ada pada diri perempuan ini sayangnya seringkali tergadaikan oleh kurangnya pemahaman antara hak dan perlindungan. Perempuan yang sejatinya indah bagai perhiasan, seringkali terperangkap dalam komoditas barang hiburan. Ketika posisi perempuan hanya ditempatkan sebagai sebuah materi yang bisa dipandang secara bebas, maka materi itu harganya akan jatuh sebagaimana yang diungkapkan oleh aktris terkenal dari Rio De Jenairo, Floranda Balkan kepada majalah Rabithah ‘Alam Islami(Februari 1977, h.58), “Masyarakat saat ini selalu menuntut mode dan hidup dengan mode tersebut. Aku tak sudi menuruti mode. Aku ingin menjadi wanita, bukan sebagai benda… Sesungguhnya aktivitas-aktivitas yang mengjengkelkan saat ini adalah apa yang menamakan diri sebagai “gerakan kebebasan wanita.” Padahal gerakan-gerakan semacam itu tak akan berhasil mengubah suatu kenyataan. Laki-laki selamanya tetap laki-laki; dan wanita selamanya tetap wanita…”

Berbicara mengenai kondisi perempuan sekarang memang masih jauh dari ideal. Affirmative action(kebijakan untuk memberikan keringanan atau jatah bagi golongan-golongan yang termarjinalkan, seperti perempuan, petani, buruh, nelayan dll) menjadi sebuah kontradiksi tersendiri. Bukankah pemberian jatah tersebut merupakan suatu bukti bahwa perempuan(dan golongan termarjinalkan lainnya) memang tidak mampu bersaing secara adil dengan laki-laki? Jika dilihat secara langsung, maka jawabannya adalah ya. Namun jika kita mau melihatnya sebagai sebuah bagian dari perjalanan sejarah, maka kondisi perempuan untuk berkiprah di dunia politik(salah satu penerapan affirmative action ini adalah dengan pemberian kuota 30% di dewan legislatif bagi perempuan pada pemilu silam), pendidikan, pekerjaan dan dalam kehidupan masyarakat lainnya memerlukan usaha lebih. Hal ini disebabkan oleh masih adanya anggapan ditengah masyarakat yang berpendapat bahwa perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, tidak perlu bekerja di luar rumah dll. Anggapan-anggapan inilah yang menghambat kemajuan perempuan dan untuk merubahnya diperlukan sebuah penyikapan khusus.

Ketika kita mempertanyakan(bahkan menuntut) kesetaraan perempuan dan laki-laki dalam Islam, kita harus mendefinisikan kembali kesetaraan seperti apa yang dimaksud. Karena sejarah umat muslim sendiri dihiasi kisah-kisah kehebatan perempuan yang berkiprah di wilayah publik. Apakah kesetaraan untuk berkiprah di sektor publik, hak untuk memperoleh perlindungan terhadap kekerasaan, atau kesetaraan-kesetaraan yang malah merendahkan harkat dan martabat perempuan itu sendiri? (yuti)

Yuti Ariani

Jumat, 14 April 2006

Insan Cendekia

Insan-insan yang datang dari tempat yg saling berjauhan
Dengan latar warna yang tak serupa
Membawa sejuta cerita berbeda

Masing-masing punya rasa sendiri
Mengapa mereka terdampar di sini
Bahagia, sesal, kecewa
Adalah hal biasa dalam menerima sebuah awal

Terjatuh dan berjalan tertatih
Pernah menjadi bagian dari lembaran kisah
Semangat, doa, dan saling menguatkan
Adalah penawar bagi rasa lelah yg bertahta

Banyak hal yang menyadarkan
Bahwa kebersamaan adalah perhiasan jiwa
Bahwa persahabatan menjadi pengikat cinta
Seperti bintang-bintang yang setia menjaga langit kita

Masa yang terus terlewati
Mimpi-mimpi yang lahir dari setiap kita
Jangan biarkan mengendap dan terlupa
Masa depan adalah cita yang kan digapai bersama

Hingga pada waktu penghabisan
Kita dapat memaknai semua realita
Kita dapat memahami jalan yg tlah Tuhan pilihkan
Kita dapat mensyukuri suatu anugerah yang indah
Tuk menjadi insan-insan cendekia…


Yogyakarta,,,
malam ke 14 Ramadhan 1426 H
17 Oktober 2005

Maisya Farhati
ketika rindu hadir di jiwa *Tuk segenap Insan Cendekia. Di manapun berada!!!

Kontroversi UU Ketenagakerjaan

Akhir-akhir ini, demonstrasi para buruh banyak mewarnai jalan-jalan di perkotaan maupun gedung-gedung perwakilan rakyat di berbagai daerah di Indonesia. Aksi mereka itu tak lain merupakan sebuah respon atas rancangan revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan (UUK) yang dinilai merugikan pihak buruh.
Seperti kebijakan-kebijakan nonpopuler yang sebelumnya pernah dikeluarkan, tentu kali ini pun pemerintah memiliki argumen sendiri untuk menguatkan rencana tersebut. Pemerintah menyebut-nyebut perbaikan iklim investasilah sebagai alasan utamanya. Dengan direvisinya undang-undang tersebut, diharapkan investor lebih tertarik lagi menanamkan modalnya di Indonesia. Dan jika investasi meningkat, lapangan kerja baru akan bertambah sehingga pengangguran dapat berkurang.

Rendahnya Produktivitas
Kembali ke persoalan semula, pemerintah berencana merevisi Undang-Undang Ketenagakerjaan ini tujuannya untuk mewujudkan tiga hal: menciptakan iklim hubungan industrial yang mendukung perluasan lapangan kerja, menyederhanakan penyelesaian berbagai perselisihan hubungan industrial, dan mempercepat proses penerbitan perizinan ketenagakerjaan.
Belakangan ini, pemerintah memang sedang gencar-gencarnya membuka kesempatan besar bagi para investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Hal ini dilakukan seiring menurunnya tingkat investasi karena para investor menilai kondisi Indonesia kurang ramah untuk berinvestasi. Sebut saja Nike dan Sony, dua perusahaan besar yang telah menutup perusahaannya di Indonesia. Apakah gerangan yang menjadi penyebabnya?
Kebanyakan investor mempermasalahkan rendahnya kinerja para pekerja di Indonesia. Produktivitas mereka bisa dibilang kurang memuaskan dibandingkan para pekerja di negara Asia lain seperti Vietnam dan Cina. Selain itu, para investor juga menganggap selama ini para pekerja Indonesia terlalu banyak menuntut namun tidak memberikan kontribusi yang cukup seimbang bagi perusahaan.
Karena redupnya minat investasi itulah pemerintah berusaha menggiatkan kembali sektor riil di Indonesia dan memperluas kesempatan kerja, salah satunya dengan merevisi UUK tersebut.

Tidak Pro Pekerja
Kalau ditengok lebih lanjut, revisi UU nomor 13/2003 ini secara langsung menyangkut kepentingan tiga pihak, yakni pengusaha, para pekerja, dan para pencari kerja. Di sinilah terdapat benturan kepentingan satu sama lain. Dilihat dari sisi pengusaha, revisi UUK akan mengurangi beban mereka sehingga volume investasi dapat meningkat. Bagi para pencari kerja, hal ini akan membuka kesempatan baru bagi mereka untuk dapat bekerja.
Namun yang kini menjadi persoalan adalah nasib para pekerja. Mereka merasa dirugikan karena banyak hak mereka yang akan berkurang, bahkan dihilangkan. Pasal-pasal dalam revisi UUK tersebut dirasa lebih berpihak pada pengusaha. Hal yang paling mencolok dalam revisi itu antara lain mengenai upah, pesangon, sistem kontrak, dan perlindungan kesejahteraan, keselamatan, dan kesehatan.
“Pekerja tetap akan mendapat pesangon, uang pensiun juga tetap dibayarkan. Jadi sebenarnya tidak ada hak pekerja yang dihilangkan,” ujar ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Sofjan Wanandi. Sebuah pembelaan muncul ketika ia mengatakan bahwa hak pekerja tidak dihilangkan. Memang benar bahwa tidak seluruhnya hak-hak itu dihilangkan, namun pada kenyataannya adalah hak pekerja sangat banyak direduksi.
Kita ambil contoh pasal 35 ayat 3 yang berisi, “Perlindungan yang mencakup kesejahteraan, keselamatan, dan kesehatan baik mental maupun fisik tenaga kerja”, rencananya akan dihapuskan. Sungguh mengecewakan apabila pemerintah mengorbankan kesejahteraan rakyatnya sendiri dengan mengatasnamakan peningkatan investasi.
Selain itu, masalah yang cukup meresahkan buruh adalah tentang sistem kontrak. Dengan sistem ini, apabila kontak kerja seorang pekerja adalah lima tahun dan setelah jangka waktu tersebut tidak ada perpanjangan, maka pekerja tersebut berhenti bekerja di perusahaan yang bersangkutan tanpa memperoleh pesangon. Tentu saja bagi para pekerja hal ini memunculkan suatu kekhawatiran baru.
Menurut Revrisond Baswir (ekonom dan dosen FE UGM) dalam sebuah seminar di Pusat Studi Ekonomi Pancasila UGM, revisi UUK pada dasarnya memang meminta pengorbanan para pekerja, walaupun hal itu dilatarbelakangi oleh niat untuk memperluas lapangan kerja. “Namun hal itu tidak berarti tidak ada pertanyaan yang tersisa,” ujarnya. Pertanyaan itu adalah: apakah memang revisi UUK ini merupakan satu-satunya jalan untuk mencerahkan kembali iklim investasi di Indonesia?

Menguntungkan Pengusaha dan Tidak merugikan Pekerja
Hasil survei World Economic Forum (WEF) menyebutkan bahwa peraturan ketenagakerjaan ternyata hanya menempati urutan ke tujuh sebagai kendala investasi di Indonesia. Enam alasan lainnya adalah inefisiensi birokrasi, infrastruktur yang tidak memadai, peraturan perpajakan, korupsi, kualitas sumber daya manusia, dan instabilitas kebijakan.
Maka pertanyaan yang selanjutya muncul adalah sudah sejauh mana pemerintah mengusahakan perbaikan bagi enam kendala investasi di atas?
Kita ambil contoh korupsi. Sudah seberapa banyak negara kita dirugikan karena suatu hal bernama korupsi, pastinya sudah tak terhitung. Begitu banyak. Dan pemerintah seharusnya semakin gencar memerangi hal yang krusial ini. Jika pemerintah konsen pada satu hal ini saja, pengaruhnya akan sangat berarti.
Kepala Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan UGM, Susetiawan, menyatakan, “Ditekannya pembiayaan harga buruh kemungkinan besar adalah ketidakmampuan negara untuk mengatasi berbagai macam bentuk KKN yang mengakibatkan biaya produksi tinggi.”
Ada baiknya pemerintah membenahi faktor-faktor yang menjadi kendala investasi yang lebih utama daripada masalah peraturan ketenagakerjaan. Karena seharusnya substansi yang tidak boleh hilang dari peraturan tersebut salah satunya adalah perlindungan bagi tenaga kerja itu sendiri. Jangan sampai ketidakmampuan pemerintah memberantas korupsi ataupun memperbaiki struktur birokrasi misalnya, menyebabkan ekonomi biaya tinggi dan pada akhirnya mengharuskan masyarakat ikut memikul konsekuensinya.
Juga merupakan sesuatu yang bijak apabila para pekerja senantiasa meningkatkan produktivitas kerja dan menyeimbangkannya dengan tuntutan yang diajukan kepada perusahaan. Dan sebisa mungkin jika ada suatu tuntutan terhadap perusahaan, mereka melakukan negosiasi terlebih dahulu. Mereka perlu memikirkan waktu yang telah mereka habiskan untuk berdemo menyebabkan produktivitas perusahaan menurun, dan pada akhirnya jika dilihat secara makro, memperlambat pertumbuhan ekonomi negara.

Maisya Farhati
Mahasiswa Fakultas Ekonomi UGM
Jurusan Ilmu Ekonomi

Jumat, 07 April 2006

Jangan Pergi Papua

Ketimpangan bukanlah sebuah hal baru yang kerap mampir di telinga kita, bangsa Indonesia. Sudah lama hal ini menjadi masalah yang hingga kini belum juga usai. Kesenjangan mewarnai banyak bidang kehidupan sosial dan ekonomi di masyarakat. Masalah ini tentunya tak bisa dipisahkan dengan keadilan. Ketika seseorang atau suatu kelompok merasa tidak mendapatkan keadilan, akankah mereka terus berdiam diri?

Di tengah kemelut bangsa yang kini melanda, masalah Papua adalah salah satu hal yang perlu mendapat perhatian. Daerah timur Indonesia ini seakan tak pernah lepas dari problematika. Dari mulai kasus gizi buruk, Freeport, sampai beberapa penduduknya yang mencari suaka ke negeri tetangga, Australia. Dalam situasi yang jauh dari sesuatu bernama kesejahteraan dan keadilan, tak heran bila gerakan separatis pun muncul ke permukaan.

Sejak tahun 1971 PT Freeport masuk Papua dan membuka tambang Erstberg. Sejak tahun 1971 itulah warga aslinya, suku Amugme, dipindahkan dari wilayah mereka ke wilayah kaki pegunungan. Tahun 1972, Freeport melakukan ekspor perdana konsentrat tembaga. Karena saat itu USA sedang gencar berperang dengan Vietnam, harga tembaga melangit dan penambangan tembaga digenjot besar-besaran. Alhasil, Freeport menanggung keuntungan yang sangat besar dan menjadi perusahaan raksasa nan kaya raya.

Keberadaan perusahaan tambang tersebut membawa dampak yang sangat signifikan bagi pendapatan Papua. Produk Domestik Bruto (PDB) Papua memang nomor tiga seluruh Indonesia, tetapi tingkat kesejahteraan Papua ada di posisi ke-29 dari seluruh propinsi yang kini ada. Hal ini menunjukkan belum meratanya pendapatan di masyarakat. PDB Papua sebagian besar disumbang dari pendapatan Freeport yang sangat tinggi (tahun 2004 profit nettonya sebesar US$ 934 million atau 9,34 triliun rupiah). Namun kita jangan bangga dulu karena pendapatan tersebut bukan seutuhnya menjadi milik negeri kita, bahkan lebih banyak yang lari ke pihak asing (capital outflow). Karena 81,2% saham pertambangan tersebut adalah milik Freeport McMoran. Pemerintah kita melalui PT Freeport Indonesia hanya memiliki 9,4% saham saja, sementara 9,4% sisanya dimiliki oleh Indocopper Investama yang ternyata 100% sahamnya dikuasai oleh PT Freeport McMoran.

Pernyataan Wakil Presiden Jusuf Kalla bahwa kondisi ekonomi dan kesejahteraan di Freeport dan daerah sekitarnya sudah baik (Tempo, 26/02/06) pada kenyataannya tidaklah terbukti. Sebelumnya Kalla juga mengatakan Freeport telah memberikan manfaat bukan saja untuk Timika, tapi juga seluruh Papua lewat pajak, bagi hasil, dan program pengembangan komunitas.

Timika sebagai kota utama Freeport memang cukup baik karena menjadi kota utama kegiatan Freeport di mana karyawannya banyak beraktivitas. Namun, daerah lainnya yang termasuk wilayah kontrak karya seperti Yahukimo masih rendah kesejahteraannya. Bahkan beberapa waktu lalu sempat mencuat kasus gizi buruk di daerah tersebut.

Selain masalah kesejahteraan, masyarakat Papua juga mau tidak mau harus menerima kenyataan bahwa kini lingkungannya telah tercemar. Kementerian Lingkungan Hidup telah erkali-kali memperingatkan Freeport sejak tahun 1997 karena melanggar peraturan perundang-undangan tentang lingkungan hidup.

Menurut perhitungan Freeport sendiri, penambangan mereka dapat menghasilkan limbah sebesar kira-kira 6 miliar ton (lebih dari dua kali bahan-bahan bumi yang digali untuk membuat Terusan Panama). Kebanyakan dari limbah itu dibuang di pegunungan di sekitar lokasi pertambangan, atau ke sungai-sungai yang mengalir turun ke dataran rendah basah, yang dekat dengan Taman Nasional Lorentz, sebuah hutan hujan tropis yang telah diberikan status khusus oleh PBB.

Jadi, yang perlu dipertanyakan adalah apakah dari sekian banyak kekayaan alam yang dikuras dari bumi Papua itu para penduduknya tidak mendapatkan apa-apa? Apakah mereka hanya disisakan kemiskinan dan penderitaan? Bentuk-bentuk tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility) yang dipublikasikan dalam website perusahaan Freeport (http://www.ptfi.com) juga patut diberi tanda tanya besar karena warga Papua belum merasakan peningkatan kesejahteraan yang berarti.

Gonjang-ganjing di Papua kini juga diwarnai dengan perginya 42 warga Papua ke Australia untuk mencari suaka. Selain protes terhadap pemerintah Australia karena telah memberikan visa sementara, pemerintah Indonesia juga seharusnya menjadikan kasus ini sebagai peringatan akan terancamnya integritas bangsa. Jangan sampai ketidakadilan yang dirasakan oleh sebagian warga negara membuat nasionalisme mereka luruh dan akhirnya pudar.

Sudah saatnya pemerintah memprioritaskan pemerataan sosial dan ekonomi di Indonesia. Apakah pemisahan diri Timor Timur harus juga terjadi pada Papua???

Maisya Farhati
Mahasiswa Fakultas Ekonomi UGM Jurusan Ilmu Ekonomi

Kamis, 06 April 2006

BHP, Kapitalisasi Perguruan Tinggi

Sudah tidak tahu lagi apa yang berlaku di negara ini. Perilaku main hakim sendiri yang dulu hanya dilakukan oleh orang-orang bawah, saat ini hal tersebut nampaknya sudah menular ke kalangan atas pemerintahan. Jika rakyat bawah bermain hakim sendiri berarti mendului aparat.

Maka kalangan atas bermain hakim sendiri dengan menelikung undang-undang yang berlaku, di dalam membuat kebijakan. Kalau orang bawah main hakim sendiri menyebabkan orang lain orang lain sekarat atau bahkan kematian orang lain. Orang atas main hakim sendiri juga membawa dampak orang-orang lain menjadi sekarat atau bahkan juga mati, perlahan-lahan.

Sudah menjadi rahasia publik bahwa kondisi kependidikan Indonesia khususnya sektor pendidikan tinggi sedang menuju kepada perubahan yang—katanya hal biasa—radikal, yaitu otonomi kampus melalui wadah Badan Hukum Pendidikan (BHP). Mengapa radikal? Karena perubahan ini dapat merontokkan sendi-sendi dari pendidikan itu sendiri. Perubahan ini juga akan menyebabkan tereliminasinya banyak kontestan lulusan SMA yang sama-sama berpotensi.

Dalam melihat konsekuensi dari pemberlakuan BHP kepada institusi-institusi perguruan tinggi, selalu terdapat dua sudut pandang. Pertama sudut yang meluluskan kebijakan tersebut dan yang kedua sudut pandang yang mengkritisi. Kedua belah pihak ini bertemu pada fakta bahwa otonomi pendidikan tinggi akan mengurangi porsi pemerintah dalam penyediaan dana operasional perguruan tinggi, yang pada gilirannya mau tidak mau, suka tidak suka, perguruan tinggi mesti lebih kreatif dalam hal pendanaan, dan salah satu imbasnya adalah biaya yang ditanggung pelajar akan bertambah tinggi.

Tentu saja hal tersebut (naiknya biaya) tidak boleh terjadi. Bagaimana mungkin orang-orang pembuat kebijakan menambahkan lagi satu jenis seleksi penerimaan calon mahasiswa: Seleksi Keuangan. Bagaimana mungkin pemerintah merumuskan kebijakan yang akan melabrak UU No. 20 tahun pasal 11 (1) yang bunyinya: "Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan KEMUDAHAN, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa DISKRIMINASI" (!!!). Ya, seleksi keuangan adalah bentuk diskriminasi. Atau bila kita merujuk pada pasal lima: "setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu" Mungkin tidak salah jika kita menyebut pemerintah setengah hati dalam memberikan hak tersebut.

Memang kita tidak dapat menyangkal kapitalisme sudah sangat mendarah daging, suka atau tidak, disadari atau tidak, kapitalisme telah merasuk ke dalam urat nadi kehidupan manusia. (Tajuk Rencana Sinar Harapan), termasuk sektor pendidikan yang juga dirasuki mazhab yang cuma berpihak kepada orang-orang kaya tersebut. Lalu bila pendidikan hanya berpihak kepada orang-orang kaya, hendak dikemanakan nilai, semangat dan ruh pendidikan?

Kapitalisasi pendidikan sebagaimana tersirat dalam UU RI tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) dengan jelas mengandung pembodohan terutama peserta didik, bahkan tidak mencerminkan nilai-nilai/semangat pembukaan UUD 1945: Mencerdaskan kehidupan bangsa. Forum Cipayung Yogyakarta dengan berapi-api menyatakan UU Sisdiknas tidak berniat memperbaiki kualitas kehidupan bangsa, tidak mampu membendung arus kapitalisme pendidikan, semakin menguatkan politisasi negara terhadap pendidikan, dan menghapus nilai, semangat, dan ruh pendidikan.

Ya, memang begitulah fakta yang hadir.

Jadi, meskipun pemerintah mengacu kepada Deklarasi Lima tentang Kebebasan Pendidikan & Otonomi Pendidikan Tinggi yang menjabarkan bermacam-macam nilai postif otonomi pendidikan—atau kapitalisasi pendidikan, tetap kita tidak dapat menerima pemberlakuan otonomi pendidikan (atau Pembentukan BHP, atau pelegalan Kapitalisasi pendidikan) tersebut. Lebih-lebih porsi dana APBN yang dianggarkan bagi sektor pendidikan cuma 12%, itu pun masih dipasung untuk dibagi-bagikan ke Departemen negara yang lain (tidak semuanya untuk Depdiknas).

Seandainya otonomi Pendidikan diberlakukan di negara yang sudah maju, mungkin hal tersebut tidak membawa dampak negatif. Tapi tidak dengan negara Bumiputera ini, jangan lupa dong, Ini Indonesia Bung!!

Denny Juzaili