Rabu, 03 Mei 2006

Emansipasi Perempuan Indonesia

“..Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf….” (Al-Baqarah 228)

Kami disini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak-anak perempuan, bukan sekali-sekali karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya. Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam (sunnatullah) sendiri ke dalam tangannya; menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama. (Surat Kartini Kepada Prof. Anton dan Nyonya, 4 Oktober 1902)


Disaat deru zaman terus melaju, dan setiap pergerakan peradaban selalu bersiklus dalam sebuah lingkaran besar yang serupa. Kejadian-kejadian yang berulang, bersisa hanya meninggalkan kesan tapi tidak pernah rasa.

Emansipasi, diperjuangkan mengatasnamakan ketidakadilan dan perlakuan semena-mena terhadap perempuan. Tapi membagi dan memisahkan emansipasi dalam sebuah obyek yang berdiri sendiri justru menimbulkan ketidakadilan yang justru akan semakin mempertajam kesenjangan keadilan yang diperjuangkan emansipasi.

Pembelaan terhadap kaum wanita yang diajukan secara parsial, dalam artian penanggulangannya sebagai satu obyek yang terpisah, hanya akan menimbulkan kesenjangan-kesenjangan lain, yang justru akan terus membenamkan pembelaan terhadap perempuan. Mengapa begitu?

Ketidakadilan selalu berada diantara dua wilayah, perut dan bawah perut. Antara lapar dan nafsu, yang selalu dipicu oleh dua hal, yakni kebodohan dan kemiskinan. Dua hal yang saling bersimbiosis dan tidak terpisahkan satu sama lainnya. Kemiskinan dan kebodohan saling mendukung satu sama lain untuk mendominasi terjadinya ketidakadilan.

Kebodohan menyebabkan ketidakadilan dimana adanya pembodohan, dan manipulasi pragmatis opurtunis pada satu pihak yang kelak akan menimbulkan ketidakadilan. Kemiskinan menyebabkan ketidakadilan dalam kebebasan berkehendak untuk membuat sebuah keputusan baik mengenai dirinya yang bersifat personal ataupun dalam skala publik.

Emansipasi adalah salah satu bentuk upaya memproporsikan keadilan dengan pemfokusan pada obyek tertentu, yakni wanita. Akan tetapi selama upaya-upaya ini hanya dan bahkan terlalu terfokus pada obyek tertentu, maka hal ini yang kelak akan menimbulkan kesenjangan baru yang kelak akan menciptakan ketidakadilan baru pula.

Emansipasi wanita adalah langkah positif selama dalam koridor yang seharusnya dan tidak berlebihan seperti usaha kartini membela kaum perempuan yang kelak menjadi kaum wanita. Sedangkan upaya-upaya yang berusaha melewati apa yang tidak harus dalam koridornya hanya akan menimbulkan permasalahan serupa yang tidak akan lebih besar manfaatnya dari ketidakadilan itu sendiri.

Emansipasi perempuan yang terus digalakkan tanpa menyadari porsi ketidakadilan yang juga bisa diperbuat individu perempuan tersebut adalah hal-hal yang justru lebih menjadikan emansipasi kehilangan maknanya, dan hanya menjadi tidak lebih dari sebuah simbol.

Emansipasi perempuan Indonesia terbukti belum bisa mereduksi tingginya angka kelaparan, anak-anak putus sekolah, rendahnya kualitas SDM, dan lain sebagainya. Dan ini pula yang menyebabkan emansipasi selalu tidak bisa diperjuangkan parsial seorang diri.

Segala bentuk ketidakadilan harus diproporsikan sejajar dengan ketidakadilan-ketidakadilan yang lain tanpa memandang subyek ataupun obyeknya. Sehingga semua pihak memiliki andil untuk menentukan sejauh mana emansipasi ini berjalan tanpa harus keluar dari koridornya, memposisikan perempuan sebagai cikal bakal pendidik utama SDM Indonesia, Ibu.

Abdullah Arifianto