Sabtu, 24 November 2007

OTONOMI DAERAH, MITE BARU PEMBANGUNAN WILAYAH

Sudah sangat lama sekali negeri Indonesia melupakan salah satu nilai dasar yang terdapat dalam pancasila, yaitu nilai desentralisasi. 54 tahun membangun, 1945—1999, pembangunan Indonesia hanya berkutat pada wilayah sekitar ibukota, hingga akhirnya pada tahun 1999 pemerintah membuat Undang-undang tentang pemerintahan daerah, Pasal 10 UU No.22 Th.1999, ayat 1 menyebutkan daerah berwenang mengelola sumber daya alam nasional yang tersedia di wilayahnya dan bertanggungjawab memelihara kelestarian lingkungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sejak diundangkannya undang-undang ini maka dimulailah babak baru dalam pembangunan daerah di negara Indonesia.



Desentralisasi sejatinya adalah salah satu cara untuk mendekatkan pemerintah dengan rakyat. Hal ini jelas tercermin dari beberapa ekses turunan dari desentralisasi, yaitu kepentingan rakyat lokal lebih diutamakan (dibanding masa sebelumnya yang sebagian besar kekayaan alam menjadi konsumsi pusat saja). Kekayaan alam yang terkandung di suatu daerah akan selalu menjadi primadona bagi pihak pun.[3]

Kekayaan alam memang tidak pernah lepas dari berbagai kepentingan, yaitu kepentingan negara, kepentingan modal dan kepentingan rakyat. Dalam konteks negara Indonesia, kekayaan alam adalah tulang punggung bagi tetap terselenggaranya pemerintahan. Pasal 6 UU No.25 Th 1999 menyatakan produksi gas alam dan minyak masing-masing 70% dan 85% menjadi hak pemerintah. Sektor-sektor lainnya yang diberikan kepada daerah untuk mengembangkannya secara mandiri adalah misalnya sektor perkebunan, hutan, dan perikanan.



Angin Baru?

Selintas pandang kebijakan penerapan otonomi daerah merupakan hal baru yang revolusioner. Bayang-bayang akan bangkitnya ekonomi lokal, hilangnya penindasan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, dan berbagai pembangunan di tingkat lokal (provinsi maupun kabupaten/kota) menjadi suatu aphrodisiac yang mengangkat kembali gairah kehidupan lokal yang sebelumnya seperti pasrah menunggu kebaikan hati pemerintah pusat. Namun kenyataan yang akan dihadapi tampaknya (dan seharusnya) tidak akan semudah yang dibayangkan.

Hal tersebut dikarenakan paling tidak terdapat dua hal yang menjadi variabel penting dalam pembangunan regional yang hingga saat ini belum terlalu terpenuhi. Di dalam salah satu esai Dr. Ari Kuncoro disebutkan daya tarik suatu daerah dan beberapa faktor penentu daya saing menjadi faktor dominan dalam usaha mengembangkan wilayah. Daya tarik tersebut adalah yang bersifat alamiah, buatan manusia, dan sosio-ekonomi. Sedangkan faktor penentu daya saing yaitu prasarana, akses, tenaga listrik, permintaan pasar, iklim usaha, dan keanekaragaman lingkungan usaha. Karena hal ini merupakan variabel maka pasti tidak akan membuahkan hasil yang sama pada setiap region/wilayah.

Sesuai dengan apa yang ditesiskan Dr. Ari Kuncoro maka dalam hal otonomi daerah ini kebijakan pembangunan wilayah mencakup pembangunan industri berat maupun ringan akan sangat bergantung kepada kekayaan alam dan kekayaan sosial yang tersimpan di daerah tersebut. Provinsi Kepulauan Riau yang kaya raya dan Provinsi Nusa Tenggara Barat yang kering kerontang pasti akan berbeda nasib. Beberapa minggu lalu Provinsi Kepri baru saja menyelenggarakan Riau Investment Summit, di lain pihak NTB baru saja mendapat musibah busung lapar. Keadaan tersebut secara abstrak dapat menjadi gambaran bahwa penetapan otonomi daerah tidak selalu menghasilkan dampak positif.



Mite Pembangunan Daerah?

Beberapa penjabaran singkat tentang konsep otonomi daerah dan syarat cukup dan perlu di atas menggiring pada satu pertanyaan "Apakah otonomi daerah hanya mitos bagi pengembangan daerah di Indonesia?" Jelas hal ini patut dipertanyakan. Pertama, Corak kepemimpinan sentralistik pada masa lampau telah hampir membuat daerah kehilangan kemampuan mengatur dirinya sendiri. Bagi daerah, kebutuhan akan investor asing sangat nyata agar bisa menggerakkan perekonomian, secara mereka tidak lagi dapat bergantung kepada anggaran yang diberikan pemerintah pusat. Namun tentu saja investor asing tidak serta merta menanamkan modalnya pada daerah yang kering dan tidak berprospek secara komersial.

Kedua, pada saat ini kondisi sosio-ekonomi negara indonesia sedang dalam keadaan yang tidak kondusif. Upah regional menjadi perdebatan, tingkat pendidikan yang ada juga belum mencukupi untuk menjadi "brainware" dan penggerak dalam pembangunan ekonomi daerah, ditambah daya beli masyarakats yang rendah. Menjadi logis apabila kita patut pesimis akan keefektifan pelaksanaan otonomi daerah pada semua daerah. Tesis seorang ilmuwan sosial Michael P Todaro yang mendefinisikan pembangunan ekonomi sebagai suatu proses multidimensional yang melibatkan perubahan besar secara sosial dalam ekonomi, menguatkan kelogisan pesimisme tersebut.

Ketiga, penerapan otonomi daerah ditenggarai hanya merupakan kebijakan yang asal-asalan. Hal ini diperkirakan terjadi karena pemerintah pusat pada saat ini sudah terdesak dengan berbagai defisit ekonomi, kebangkrutan, dan beban utang yang menggunung. Pemerintah pusat pun belum cukup membekali daerah dengan infrastruktur yang baik. Bahkan APBN 2008 menetapkan 70% anggaran infrastruktur difokuskan hanya untuk pulau Jawa, daerah lain masih tetap menjadi anak tiri.

Penetapan otonomi daerah tidak boleh atas dasar reaktifitas karena ketidakmampuan pemerintah pusat mengayomi daerah-daerah. Jelas mendelegasikan tanggung jawab kepada pihak yang tidak kompeten[4] walaupun dibungkus dengan niat untuk memandirikan, memajukan, dan mempercepat pembangunan daerah, reaktifitas tersebut adalah tidak bijaksana karena pada akhirnya rakyat juga yang akan menjadi korban ketidaksiapan para birokrat mengartikulasikan otonomi daerah menjadi kebijakan-kebijakan yang dapat memaksimalkan potensi daerah.[5]

Pada akhirnya kesiapan pemerintah daerah dan perhatian pemerintah pusat atas apa yang berlaku menjadi kunci penting dalam memaksimalkan manfaat dari otonomi daerah dalam rangka membangun daerah. Kecukupan dan ketersediaan unsur-unsur pembangunan harus terpenuhi. Tanpanya, maka otonomi daerah hanya akan menjadi mitos bagi pembangunan daerah.

--
Denny Juzaili
Departemen Manejemen, Universitas Indonesia
http://dennyjuzaili.wordpress.com

Selasa, 16 Januari 2007

FIBROADENOMA MAMMAE

Pendahuluan
Fibroadenoma mammae adalah tumor jinak yang sering terjadi di
payudara. Benjolan tersebut berasal dari jaringan fibrosa (mesenkim) dan
jaringan glanduler (epitel) yang berada di payudara, sehingga tumor ini disebut
sebagai tumor campur (mix tumor), tumor tersebut dapat berbentuk bulat atau
oval, bertekstur kenyal atau padat, dan biasanya nyeri. Fibroadenoma ini dapat
kita gerakkan dengan mudah karena pada tumor ini terbentuk kapsul sehingga
dapat mobil, sehingga sering disebut sebagai ”breast mouse”.

Etiologi dan Epidemiologi
Penelitian saat ini belum dapat mengungkap secara pasti apa penyebab
sesungguhnya dari fibroadenoma mammae, namun diketahui bahwa pengaruh
hormonal sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dari fibroadenoma
mammae, hal ini diketahui karena ukuran fibroadenoma dapat berubah pada
siklus menstruasi atau pada saat kehamilan. Perlu diingat bahwa tumor ini
adalah tumor jinak, dan fibroadenoma ini sangat jarang atau bahkan sama sekali
tidak dapat menjadi kanker atau tumor ganas.

Fibroadenoma mammae biasanya terjadi pada wanita usia muda, yaitu
pada usia sekitar remaja atau sekitar 20 tahun. Berdasarkan laporan dari NSW
Breats Cancer Institute, fibroadenoma umumnya terjadi pada wanita dengan usia
21-25 tahun, kurang dari 5% terjadi pada usia di atas 50, sedangkan
prevalensinya lebih dari 9% populasi wanita terkena fibroadenoma. Sedangkan
laporan dari Western Breast Services Alliance, fibroadenoma terjadi pada wanita
dengan umur antara 15 dan 25 tahun, dan lebih dari satu dari enam (15%)
wanita mengalami fibroadenoma dalam hidupnya. Namun, kejadian
fibroadenoma dapat terjadi pula wanita dengan usia yang lebih tua atau bahkan
setelah menopause, tentunya dengan jumlah kejadian yang lebih kecil
disbanding pada usia muda.

Diagnosis
Fibroadenoma dapat didiagnosis dengan tiga cara, yaitu dengan
pemeriksaan fisik (phisycal examination), dengan mammography atau
ultrasound, dengan Fine Needle Aspiration Cytology (FNAC). Pada pemeriksaan
fisik dokter akan memeriksa benjolan yang ada dengan palpasi pada daerah
tersebut, dari palpasi itu dapat diketahui apakah mobil atau tidak, kenyal atau
keras,dll. Mammography digunakan untuk membantu diagnosis, mammography
sangat berguna untuk mendiagnosis wanita dengan usia tua sekitar 60 atau 70
tahun, sedangkan pada wanita usia muda tidak digunakan mammography,
sebagai gantinya digunakan ultrasound, hal ini karena fibroadenoma pada wanita
muda tebal, sehingga tidak terlihat dengan baik bila menggunakan
mammography.

Pada FNAC kita akan mengambil sel dari fibroadenoma dengan
menggunakan penghisap berupa sebuah jarum yang dimasukkan pada suntikan.
Dari alat tersebut kita dapat memperoleh sel yang terdapat pada fibroadenoma,
lalu hasil pengambilan tersebut dikirim ke laboratorium patologi untuk diperiksa di
bawah mikroskop. Dibawah mikroskop tumpor tersebut tampak seperti berikut :
a. Tampak jaringan tumor yang berasal dari mesenkim (jaringan ikat fibrosa) dan
berasal dari epitel (epitel kelenjar) yang berbentuk lobus-lobus; b. Lobuli terdiri
atas jaringan ikat kolagen dan saluran kelenjar yang berbentuk bular
(perikanalikuler) atau bercabang (intrakanalikuler); c. Saluran tersebut dibatasi
sel-sel yang berbentuk kuboid atau kolumnar pendek uniform

Terapi (treatment)
Terapi untuk fibroadenoma tergantuk dari beberapa hal sebagai berikut:
1. Ukuran
2. Terdapat rasa nyeri atau tidak
3. Usia pasien
4. Hasil biopsy

Terapi dari fibroadenoma mammae dapat dilakukan dengan operasi
pengangkatan tumor tersebut, biasanya dilakukan general anaesthetic pada
operasi ini. Operasi ini tidak akan merubah bentuk dari payudara, tetapi hanya
akan meninggalkan luka atau jaringan parut yang nanti akan diganti oleh jaringan
normal secara perlahan.

Referensi
1. The Ottawa Hospital Women’s Braest Health Center
2. www.breastcancercare.org.uk
3. NSW Breast Cancer Institute
(www.bci.org.aupublicguides_Mar06Fibroadenoma%20111005.pdf-)

Syarif Alhadrami
Faculty of Medicine Gajah Mada University

Acute Appendicitis

PENDAHULUAN
Acute appendicitis atau radang apendiks akut merupakan kasus infeksi intraabdominal
yang sering dijumpai di negara-negara maju, sedangkan pada negara
berkembang jumlahnya lebih sedikit, hal ini mungkin terkait dengan diet serat yang
kurang pada masyarakat modern (perkotaan) bilang dibandingkan dengan masyarakat
desa yang cukup banyak mengkonsumsi serat. Appendicitis dapat menyerang orang
dalam berbagai umur, umumnya menyerang orang dengan usia dibawah 40 tahun,
khususnya antara 8 sampai 14 tahun, dan sangat jarang terjadi pada usia dibawah 2 tahun.

PATOFISIOLOGI
Appendicitis dapat terjadi karena berbagai macam penyebab, antara lain obstruksi
oleh fecalith, a gallstone, tumor, atau bahkan oleh cacing (Oxyurus vermicularis), akan
tetapi paling sering disebabkan obstruksi oleh fecalith. Hasil observasi epidemiologi juga
menyebutkan bahwa obstruksi fecalith adalah penyebab terbesar.

Pada fase awal appendicitis, mukosa mengalami inflamasi terlebih dahulu.
Kemudian inflamasi ini akan meluas ke lapisan submukosa, termasuk juga lapisan
muskularis dan lapisan serosa. Terbentuk pula eksudat fibrinopurulen pada permukaan
serosa dan menyebar ke dinding peritoneal terdekat, sehingga menyebabkan peritonitis.
Pada fase ini glandula mukosa yang nekrosis masuk ke dalam lumen usus, sehingga
menyebabkan terjadinya nanah atau pus di dalam lumen. Akhirnya, pembuluh-pembuluh
kapiler yang mensuplai darah ke appendix mengalami trombose dan appendix yang
infark tersebut menjadi nekrosis atau gangrenous. Setelah mengalami nekrosis, appendix
dapat mengalami perforasi, sehingga kandungan yang terdapat dalam lumen appendix,
seperti pus, dapat menyebar di cavitas peritoneal dan menimbulkan peritonitis.

TANDA-TANDA KLINIS
Pada appendicitis klasik, mula-mula pasien merasakan nyeri pada bagian tengah
abdominal, tepatnya pada periumbilikal. Hal ini disebabkan oleh spasme otot yang
merupakan reaksi terhadap obstruksi appendix. Selain nyeri tersebut pasien biasanya juga
mual dan muntah. Setelah inflamasi berjalan 12-24 jam, inflamasi yang tadi hanya terjadi
pada dinding appendix kini telah mencapai peritoneum bagian parietal (dipersarafi oleh
saraf somatik), sehingga timbul rasa nyeri yang terlokalisasi di kuadran kanan bawah
abdomen, biasanya peritonitis lokal ini juga ditandai dengan abdominal tenderness.
Tanda-tanda dari appendicitis klasik ini dapat ditemukan kurang dari setengah kasus yang
terjadi.

Selain tanda-tanda dari appendix klasik, ada juga tanda-tanda lain yang muncul
pada appendicitis. Bila appendix berada di dekat rektum, maka itu dapat menyebabkan
iritasi lokal dan diarrhoea. Bila appendix terletak dekat dengan vesica urinaria atau ureter,
maka itu dapat menyebabkan dysuria dan pyuria (secara mikroskopik).

DIAGNOSIS APPENDICITIS
Appendisitis akut dapat didiagnosis secara klinis dengan anamnesis dan
pemeriksaan fisik (physical examination). Selayaknya diagnosis sesegera mungkin
ditegakkan dan appendix dapat segera diangkat bila ternyata terjadi appendisitis.
Diagnosis menjadi mudah untuk ditegakkan bila tampak tanda dan gejala dari
appendisitis klasik pada pasien, tanda dan gejala tersebut seperti: a. Nyeri pada bagian
abdominal kurang dari 72 jam; b. Muntah 1-3 kali; c. Facial flush; d. Tenderness pada
fossa iliaca kanan; e. Demam dengan suhu antara 37,3-38,5 °C; f. Tidak ada bukti terjadi
infeksi traktus urinarius pada pemeiksaan urin dengan mikroskop.

Tanda inflamasi peritoneal bagian fossa iliaca kanan yang berupa rasa nyeri,
sering tidak tampak. Untuk itu kita perlu untuk menyuruh pasien agar batuk, bila
terjadi inflamasi pada peritoneum parietal maka pasien akan merasakan nyeri. Selain itu
dapat dilakukan rebound tenderness untuk membantu menegakkan diagnosis, yaitu
dengan melakukan perkusi pada fossa iliaca kanan, rasa nyeri akan diraskan oleh pasien
akibat perkusi bila pasien tersebut mengalami peritonitis.

Pada saat menegakkan diagnosis perlu juga diperhatikan diagnosis banding dari
appendisitis. Kondisi lain yang sering mengkaburkan diagnosis appendisitis adalah
infeksi traktus urinarius (cystis atau pyelonephritis), mesentetic adenitis, konstipasi,
pankreatitis akut,dll.

MANAJEMEN DARI APPENDICITIS
Pada pasien yang kita duga appendisitis kita dapat melakukan manajemen sebagai
berikut. Bila kita mendapati pasien dengan nyeri pada fossa iliaca kanan, dan pasien itu
memiliki tanda dan gejala lain dari appendisitis sehingga kita dengan yakin
mendiagnosisnya sebagai appendisitis, maka segera lakukan appendicectomy.

Bila kita mendapati pasien dengan nyeri pada fossa iliaca kanan, namun belum
dapat dipastikan diagnosis dari pasien tersebut apakah appendisitis atau penyakit lainnya,
maka kita harus mereview pasien tersebut secara periodik, bila perlu pasien kita sarankan
untuk rawat inap agar dapat dipantau perkembangannya dengan baik, bila setelah
dipantau masih menimbulkan keraguan maka kita dapat melakukan pemeriksaanpemeriksaan
yang dapat mendukung diagnosis, seperti memeriksa urine secara
mikroskopis, X-ray, full blood count, dan serum amylase.

Sedangkan bila kita mendapatkan pasien dengan keluhan nyeri pada fossa iliaca
kanan, dan setelah kita pelajari ternyata pasien tidak mengalami appendisitis, maka kita
harus memberi pengobatan sesuai dengan apa yang diderita pasien.

Syarif Alhadrami
Faculty of medicine Gajah Mada University