Kamis, 16 Maret 2006

Harga Sebuah Idealisme

Medio, 15 Maret 2006
Dalam sebuah ruang dimana kebebasan bisa didapat tanpa perjuangan

Wajarkah bila sang aku memilih untuk berdiam diri dan termenung?
Wajarkah aku memilih terkurung disaat aku tahu ada mereka yang dikurung?
Wajarkah aku menyalahkan mereka, disaat dengannya sekejap?
Atau wajarkah aku memilih tidak merasa bersalah, ketika aku tahu aku salah?

Demi tuhan yang tahu apa niatku
Tak ada kefakiran yang aku tidak merasa lemah terhadapnya, kecuali waktu
Dan hanya berniat, bila tiba waktuku
Ku mau tak akan seorang pun menghadangku, walau itu aku.

Ketika idealisme dipertanyakan dalam tatanan praktis, dimana sepantasnya kita menampilkannya?

Sebagai gambaran, adakah seorang konseptor yang bertindak sebagai praktisi? Jawabnya ada. Dan pertanyaan tentang hal diatas, akan sangat-sangat jelas ketika dijawab oleh mereka.

Alkisah dalam sebuah negeri antah berantah, saya menyebut negera itu bernama indoensia. Sebuah negara dongeng yang semuanya berlaku selayaknya disurga.

Indoensia, dalam kisah saya ini diibaratkan sebuah kampung kecil terpinggir yang berada didalam pedalaman hutan yang tidak tersentuh oleh siapapun, hingga ada orang-orang bernafsu yang munafik mencoba mengatakan bahwa kampung itu menyimpan emas. Memang entah iya entah tidak, walaupun dongeng sebelum tidur dalam kampung itu selalu bercerita tentang raksasa kecil yang berhajat sebuah emas batangan.

Dan konon orang-orang bernafsu tersebut meminta sebuah pertolongan dengan pembagian 1:3, satu untuknya dan tiga untuk mereka sang orang luar atas emas yang bila nanti ditemukan dalam kampung tersebut. Tetapi orang-orang bernafsu tersebut meminta sebuah syarat tambahan, yakni penguasaan terhadap kampung tersebut. Dan ini pun menjadi syarat konyol menurut orang luar tersebut yang tidak seharusnya diajukan oleh orang-orang yang beranggapan kewarasan pun ada batasnya.

Setelah beberapa tahun setelah itu, emas batangan pun ditemukan. Dan dibagi berdasarkan apa yang sudah disepakati. Dengan tambahan syarat tersebut, penguasaan terhadap yang lain. Ketika waktu terus berjalan, tahun pun berubah menjadi sewindu dan dasawarsa. Orarng-orang bernafsu tersebut bingung, penguasaan satu terhadap yang lain hanya bisa dipertahankan dengan memenuhi kebutuhan mereka, sedangkan hasil emas kemarin telah dibagikan, ketika ada sebuah opsi yakni menggunakan emas miliknya, maka sang pengecut itu berkata dalam hati, kenapa kebutuhan mereka harus ia pikirkan. Lalu ia memutuskan untuk tidak jadi berkuasa terhadap yang lain.

Cerita sederhana, tapi telah terlihat bahwa orang pintar akan selalu tampak bodoh tanpa idealisme. Tapi kenapa setiap generasi dalam negara dongeng yang saya sebut indoensia itu, selalu ada orang-orang pintar yang bodoh.

Entahlah, ketika idealisme mulai dipertanyakan dan dijual dengan harga tinggi, itulah harga terendah dari sebuah idealisme. Karena idealisme adalah harta orang-orang miskin untuk merasa kaya, adalah ilmu orang-orang bodoh untuk merasa cerdas, adalah kepuasan orang-orang lapar untuk merasa kenyang, adalah keteguhan orang-orang berkeyakinan untuk merasa kokoh, dan pretise seorang pemuda untuk merasa berharga bahkan lebih.

st. jabok
Ketika tahu keterbatasan diri selalu menjadi kendala mengusung sebuah idealisme, sehingga membutuhkan kawan. Tidak selalu sevisi ataupun cerdas, tapi bisa dipercaya, karena kepercayaan menjadi pokok terdistribusinya visi.

Tidak ada komentar: