Jumat, 17 Maret 2006

CEPU on my mind:Indonesiaku sayang, Indonesiaku malang...

Sebuah istilah “bagaikan ngekos di rumah sendiri”, memang pantas dijadikan analogi bagi keadaan negara kita sekarang. Kasus yang sedang hangat (bahkan panas), yaitu Blok Cepu, adalah salah satu contohnya. Atas nama nasionalisme dan manfaat ekonomi bagi seluruh rakyat, kandungan migas di nusantara sudah seharusnya dikuasai dan diatur negara bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Lalu, bagaimana bisa ExxonMobil turut campur dalam hal pengelolaan Blok Cepu??

Blok Cepu pada awalnya diusahakan oleh PT Humpuss Patra Gas (HPG) melalui technical assistance contract (TAC) dengan Pertamina. Dengan alasan tidak mempunyai dana yang cukup untuk membiayai eksploitasi cadangan minyak di blok itu, HPG pada 1997 melepas 49 persen sahamnya kepada Ampolex, perusahaan minyak yang sebagian besar sahamnya dikuasai ExxonMobil.

Menurut Kepala Badan Pengelolaan dan Pengawasan Kontraktor Asing (BPPKA) PT Pertamina, Zuhdi Pane (Kompas, 28/2/2006), pelibatan investor asing dalam TAC sebenarnya tidak diperbolehkan secara perundang-undangan. Namun hal tersebut ternyata dapat diloloskan setelah pihak Ampolex pada saat itu melakukan “pendekatan” dengan Soeharto.

Dalam perkembangan selanjutnya, ExxonMobil mengambil alih 100 persen saham HPG di Cepu melalui Ampolex. Kontrak ExxonMobil di Blok Cepu semestinya selesai pada tahun 2010 dan menurut undang-undang tidak boleh diperpanjang. Namun pada kenyataannya pihak ExxonMobil ngotot ingin memperpanjang, bahkan berebut hak sebagai operator dengan Pertamina. Dan sayangnya, kini Exxonlah yang memperoleh hak tersebut.

Walaupun hak operator tersebut “hanya” berlaku selama lima tahun, dikhawatirkan ExxonMobil semena-mena dalam mengelola Blok Cepu. Bisa saja ia menguras habis minyak kita selama lima tahun tersebut, dan ketika hak operator telah dipegang Pertamina, yang tersisa hanyalah air (mungkin ini terlalu hiperbolis, tapi bisa saja terjadi kan?).

Kasus ini mengingatkan saya akan pengelolaan minyak di Ekuador yang juga dipegang oleh perusahaan minyak asing. John Perkins dalam bukunya “Confessions of an Economic Hit Man” memaparkan hal tersebut. Untuk minyak mentah senilai $100 yang diambil dari hutan hujan Ekuador, perusahaan minyak menerima $75. Dari $25 sisanya, tiga perempatnya harus dipakai untuk membayar utang luar negeri (yang juga merupakan suatu bentuk penjajahan AS dan konco-konconya). Sebagian besar dari yang tersisa dipakai untuk menutup biaya militer dan biaya pemerintahan lainnya, dan menyisakan kira-kira $2,5 untuk kesehatan, pendidikan, dan program bantuan bagi orang miskin. Ironis sekali bukan?

Memang, dalam kasus Blok Cepu pembagian hasil minyak sudah ditentukan. Persentase yang sudah disepakati saat ini adalah 85 persen pemerintah, Pertamina dan ExxonMobil masing-,asing memperoleh 6,75 persen, dan pemerintah daerah (Jatim dan Jateng) sebesar 1,5 persen. Tapi, bukannya tidak mungkin pihak ExxonMobil melakukan mark-up dan KKN. Selain itu, sebagai pengelola, peluang untuk melakukan intervensi dan pengambilan keputusan yang hanya menguntungkan pihak ExxonMobil sendiri selalu ada.

Ah, begitu menyedihkan. Blok Cepu yang memiliki cadangan prospektif lebih dari sepuluh milyar barel dan merupakan cadangan terbesar yang pernah ditemukan di Indonesia kini telah jatuh ke tangan asing.

Kapankah kita dapat menjadi bangsa yang mandiri?

Maisya Farhati
Mahasiswa Ilmu Ekonomi UGM

bluezone_24@yahoo.com

Tidak ada komentar: