Kamis, 06 April 2006

BHP, Kapitalisasi Perguruan Tinggi

Sudah tidak tahu lagi apa yang berlaku di negara ini. Perilaku main hakim sendiri yang dulu hanya dilakukan oleh orang-orang bawah, saat ini hal tersebut nampaknya sudah menular ke kalangan atas pemerintahan. Jika rakyat bawah bermain hakim sendiri berarti mendului aparat.

Maka kalangan atas bermain hakim sendiri dengan menelikung undang-undang yang berlaku, di dalam membuat kebijakan. Kalau orang bawah main hakim sendiri menyebabkan orang lain orang lain sekarat atau bahkan kematian orang lain. Orang atas main hakim sendiri juga membawa dampak orang-orang lain menjadi sekarat atau bahkan juga mati, perlahan-lahan.

Sudah menjadi rahasia publik bahwa kondisi kependidikan Indonesia khususnya sektor pendidikan tinggi sedang menuju kepada perubahan yang—katanya hal biasa—radikal, yaitu otonomi kampus melalui wadah Badan Hukum Pendidikan (BHP). Mengapa radikal? Karena perubahan ini dapat merontokkan sendi-sendi dari pendidikan itu sendiri. Perubahan ini juga akan menyebabkan tereliminasinya banyak kontestan lulusan SMA yang sama-sama berpotensi.

Dalam melihat konsekuensi dari pemberlakuan BHP kepada institusi-institusi perguruan tinggi, selalu terdapat dua sudut pandang. Pertama sudut yang meluluskan kebijakan tersebut dan yang kedua sudut pandang yang mengkritisi. Kedua belah pihak ini bertemu pada fakta bahwa otonomi pendidikan tinggi akan mengurangi porsi pemerintah dalam penyediaan dana operasional perguruan tinggi, yang pada gilirannya mau tidak mau, suka tidak suka, perguruan tinggi mesti lebih kreatif dalam hal pendanaan, dan salah satu imbasnya adalah biaya yang ditanggung pelajar akan bertambah tinggi.

Tentu saja hal tersebut (naiknya biaya) tidak boleh terjadi. Bagaimana mungkin orang-orang pembuat kebijakan menambahkan lagi satu jenis seleksi penerimaan calon mahasiswa: Seleksi Keuangan. Bagaimana mungkin pemerintah merumuskan kebijakan yang akan melabrak UU No. 20 tahun pasal 11 (1) yang bunyinya: "Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan KEMUDAHAN, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa DISKRIMINASI" (!!!). Ya, seleksi keuangan adalah bentuk diskriminasi. Atau bila kita merujuk pada pasal lima: "setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu" Mungkin tidak salah jika kita menyebut pemerintah setengah hati dalam memberikan hak tersebut.

Memang kita tidak dapat menyangkal kapitalisme sudah sangat mendarah daging, suka atau tidak, disadari atau tidak, kapitalisme telah merasuk ke dalam urat nadi kehidupan manusia. (Tajuk Rencana Sinar Harapan), termasuk sektor pendidikan yang juga dirasuki mazhab yang cuma berpihak kepada orang-orang kaya tersebut. Lalu bila pendidikan hanya berpihak kepada orang-orang kaya, hendak dikemanakan nilai, semangat dan ruh pendidikan?

Kapitalisasi pendidikan sebagaimana tersirat dalam UU RI tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) dengan jelas mengandung pembodohan terutama peserta didik, bahkan tidak mencerminkan nilai-nilai/semangat pembukaan UUD 1945: Mencerdaskan kehidupan bangsa. Forum Cipayung Yogyakarta dengan berapi-api menyatakan UU Sisdiknas tidak berniat memperbaiki kualitas kehidupan bangsa, tidak mampu membendung arus kapitalisme pendidikan, semakin menguatkan politisasi negara terhadap pendidikan, dan menghapus nilai, semangat, dan ruh pendidikan.

Ya, memang begitulah fakta yang hadir.

Jadi, meskipun pemerintah mengacu kepada Deklarasi Lima tentang Kebebasan Pendidikan & Otonomi Pendidikan Tinggi yang menjabarkan bermacam-macam nilai postif otonomi pendidikan—atau kapitalisasi pendidikan, tetap kita tidak dapat menerima pemberlakuan otonomi pendidikan (atau Pembentukan BHP, atau pelegalan Kapitalisasi pendidikan) tersebut. Lebih-lebih porsi dana APBN yang dianggarkan bagi sektor pendidikan cuma 12%, itu pun masih dipasung untuk dibagi-bagikan ke Departemen negara yang lain (tidak semuanya untuk Depdiknas).

Seandainya otonomi Pendidikan diberlakukan di negara yang sudah maju, mungkin hal tersebut tidak membawa dampak negatif. Tapi tidak dengan negara Bumiputera ini, jangan lupa dong, Ini Indonesia Bung!!

Denny Juzaili

Tidak ada komentar: