Jumat, 14 April 2006

Kontroversi UU Ketenagakerjaan

Akhir-akhir ini, demonstrasi para buruh banyak mewarnai jalan-jalan di perkotaan maupun gedung-gedung perwakilan rakyat di berbagai daerah di Indonesia. Aksi mereka itu tak lain merupakan sebuah respon atas rancangan revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan (UUK) yang dinilai merugikan pihak buruh.
Seperti kebijakan-kebijakan nonpopuler yang sebelumnya pernah dikeluarkan, tentu kali ini pun pemerintah memiliki argumen sendiri untuk menguatkan rencana tersebut. Pemerintah menyebut-nyebut perbaikan iklim investasilah sebagai alasan utamanya. Dengan direvisinya undang-undang tersebut, diharapkan investor lebih tertarik lagi menanamkan modalnya di Indonesia. Dan jika investasi meningkat, lapangan kerja baru akan bertambah sehingga pengangguran dapat berkurang.

Rendahnya Produktivitas
Kembali ke persoalan semula, pemerintah berencana merevisi Undang-Undang Ketenagakerjaan ini tujuannya untuk mewujudkan tiga hal: menciptakan iklim hubungan industrial yang mendukung perluasan lapangan kerja, menyederhanakan penyelesaian berbagai perselisihan hubungan industrial, dan mempercepat proses penerbitan perizinan ketenagakerjaan.
Belakangan ini, pemerintah memang sedang gencar-gencarnya membuka kesempatan besar bagi para investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Hal ini dilakukan seiring menurunnya tingkat investasi karena para investor menilai kondisi Indonesia kurang ramah untuk berinvestasi. Sebut saja Nike dan Sony, dua perusahaan besar yang telah menutup perusahaannya di Indonesia. Apakah gerangan yang menjadi penyebabnya?
Kebanyakan investor mempermasalahkan rendahnya kinerja para pekerja di Indonesia. Produktivitas mereka bisa dibilang kurang memuaskan dibandingkan para pekerja di negara Asia lain seperti Vietnam dan Cina. Selain itu, para investor juga menganggap selama ini para pekerja Indonesia terlalu banyak menuntut namun tidak memberikan kontribusi yang cukup seimbang bagi perusahaan.
Karena redupnya minat investasi itulah pemerintah berusaha menggiatkan kembali sektor riil di Indonesia dan memperluas kesempatan kerja, salah satunya dengan merevisi UUK tersebut.

Tidak Pro Pekerja
Kalau ditengok lebih lanjut, revisi UU nomor 13/2003 ini secara langsung menyangkut kepentingan tiga pihak, yakni pengusaha, para pekerja, dan para pencari kerja. Di sinilah terdapat benturan kepentingan satu sama lain. Dilihat dari sisi pengusaha, revisi UUK akan mengurangi beban mereka sehingga volume investasi dapat meningkat. Bagi para pencari kerja, hal ini akan membuka kesempatan baru bagi mereka untuk dapat bekerja.
Namun yang kini menjadi persoalan adalah nasib para pekerja. Mereka merasa dirugikan karena banyak hak mereka yang akan berkurang, bahkan dihilangkan. Pasal-pasal dalam revisi UUK tersebut dirasa lebih berpihak pada pengusaha. Hal yang paling mencolok dalam revisi itu antara lain mengenai upah, pesangon, sistem kontrak, dan perlindungan kesejahteraan, keselamatan, dan kesehatan.
“Pekerja tetap akan mendapat pesangon, uang pensiun juga tetap dibayarkan. Jadi sebenarnya tidak ada hak pekerja yang dihilangkan,” ujar ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Sofjan Wanandi. Sebuah pembelaan muncul ketika ia mengatakan bahwa hak pekerja tidak dihilangkan. Memang benar bahwa tidak seluruhnya hak-hak itu dihilangkan, namun pada kenyataannya adalah hak pekerja sangat banyak direduksi.
Kita ambil contoh pasal 35 ayat 3 yang berisi, “Perlindungan yang mencakup kesejahteraan, keselamatan, dan kesehatan baik mental maupun fisik tenaga kerja”, rencananya akan dihapuskan. Sungguh mengecewakan apabila pemerintah mengorbankan kesejahteraan rakyatnya sendiri dengan mengatasnamakan peningkatan investasi.
Selain itu, masalah yang cukup meresahkan buruh adalah tentang sistem kontrak. Dengan sistem ini, apabila kontak kerja seorang pekerja adalah lima tahun dan setelah jangka waktu tersebut tidak ada perpanjangan, maka pekerja tersebut berhenti bekerja di perusahaan yang bersangkutan tanpa memperoleh pesangon. Tentu saja bagi para pekerja hal ini memunculkan suatu kekhawatiran baru.
Menurut Revrisond Baswir (ekonom dan dosen FE UGM) dalam sebuah seminar di Pusat Studi Ekonomi Pancasila UGM, revisi UUK pada dasarnya memang meminta pengorbanan para pekerja, walaupun hal itu dilatarbelakangi oleh niat untuk memperluas lapangan kerja. “Namun hal itu tidak berarti tidak ada pertanyaan yang tersisa,” ujarnya. Pertanyaan itu adalah: apakah memang revisi UUK ini merupakan satu-satunya jalan untuk mencerahkan kembali iklim investasi di Indonesia?

Menguntungkan Pengusaha dan Tidak merugikan Pekerja
Hasil survei World Economic Forum (WEF) menyebutkan bahwa peraturan ketenagakerjaan ternyata hanya menempati urutan ke tujuh sebagai kendala investasi di Indonesia. Enam alasan lainnya adalah inefisiensi birokrasi, infrastruktur yang tidak memadai, peraturan perpajakan, korupsi, kualitas sumber daya manusia, dan instabilitas kebijakan.
Maka pertanyaan yang selanjutya muncul adalah sudah sejauh mana pemerintah mengusahakan perbaikan bagi enam kendala investasi di atas?
Kita ambil contoh korupsi. Sudah seberapa banyak negara kita dirugikan karena suatu hal bernama korupsi, pastinya sudah tak terhitung. Begitu banyak. Dan pemerintah seharusnya semakin gencar memerangi hal yang krusial ini. Jika pemerintah konsen pada satu hal ini saja, pengaruhnya akan sangat berarti.
Kepala Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan UGM, Susetiawan, menyatakan, “Ditekannya pembiayaan harga buruh kemungkinan besar adalah ketidakmampuan negara untuk mengatasi berbagai macam bentuk KKN yang mengakibatkan biaya produksi tinggi.”
Ada baiknya pemerintah membenahi faktor-faktor yang menjadi kendala investasi yang lebih utama daripada masalah peraturan ketenagakerjaan. Karena seharusnya substansi yang tidak boleh hilang dari peraturan tersebut salah satunya adalah perlindungan bagi tenaga kerja itu sendiri. Jangan sampai ketidakmampuan pemerintah memberantas korupsi ataupun memperbaiki struktur birokrasi misalnya, menyebabkan ekonomi biaya tinggi dan pada akhirnya mengharuskan masyarakat ikut memikul konsekuensinya.
Juga merupakan sesuatu yang bijak apabila para pekerja senantiasa meningkatkan produktivitas kerja dan menyeimbangkannya dengan tuntutan yang diajukan kepada perusahaan. Dan sebisa mungkin jika ada suatu tuntutan terhadap perusahaan, mereka melakukan negosiasi terlebih dahulu. Mereka perlu memikirkan waktu yang telah mereka habiskan untuk berdemo menyebabkan produktivitas perusahaan menurun, dan pada akhirnya jika dilihat secara makro, memperlambat pertumbuhan ekonomi negara.

Maisya Farhati
Mahasiswa Fakultas Ekonomi UGM
Jurusan Ilmu Ekonomi

Tidak ada komentar: