Minggu, 23 April 2006

Perempuan

Merdeka Melaksanakan Dharma. Itulah semboyan pada lambang Hari Ibu, yang mengandung arti dengan tercapainya persamaan kedudukan, hak dan kewajiban dengan kaum laki-laki sebagai mitra sejajar, darma bakti laki-laki dan perempuan Indonesia kepada keluarga, masyarakat, bangsa dan negara dapat diwujudkan sepenuhnya. Hari yang diperingati tiap tanggal 22 Desember berdasarkan Kongres III Perempoean tahun 1938 tersebut telah menjadi hari nasional, namun selain menjadi bagian dari rutinitas tahunan, hal apa yang bisa kita peroleh?

Jawabannya bisa berbeda-beda. Meski demikian, jika ditilik dari fenomena sosial, dampak hari Ibu terlihat dari meningkatnya tulisan-tulisan, iklan layanan masyarakat hingga iklan komersil yang mengangkat perempuan. Sudut yang digunakan beragam, mulai dari kampanye kesetaraan gender, meningkatkan kesadaran masyarakat akan ancaman trafficking, serta iklan yang menggunakan momen hari Ibu untuk mempromosikan produknya.

Perempuan senantiasa menjadi perbincangan hangat. Mulai dari masalah mode, gosip, masak hingga yang menyangkut wilayah publik. Wacana mengenai kehidupan perempuan yang ideal memang tak pernah surut. Hal ini terkait langsung dengan posisi perempuan sebelum tahun 1990-an yang mayoritas berkutat pada masalah domestik dan jabatan-jabatan sekunder dalam dunia kerja.

Dalam Megatrends 2000, Naisbitt menyebutkan bahwa perempuan telah mencapai massa kritis di hampir semua profesi pekerja kantor, khususnya di dalam perusahaan. Namun pada tahun 1990, tempat kerja adalah dunia yang sangat berbeda. Sejak tahun 1972 hingga 1990, presentase perempuan yang menjadi dokter naik dua kali lipat. Perempuan menguasai sekitar 39,3 persen dari 14,2 juta pekerjaan eksekutif, administratif dan manajemen, menurut Biro Statistik Tenaga Kerja(Amerika Serikat-penulis), meningkat hampir dua kali lipat angka tahun 1972.

Pergeseran posisi perempuan dari domestik ke sektor publik berimplikasi langsung pada wacana mengenai pembelaan hak-hak perempuan. Di Indonesia, pengaruh gerakan pembela perempuan misalnya, telah membuahkan UU-Anti KDRT yang mengatur mengenai kekerasan dalam rumah tangga. Perjuangan perempuan memperoleh hak-haknya juga telah menciptakan sebuah persaudaran tersendiri diantara perempuan dari berbagai kalangan.

Lalu bagaimana Islam memandang perempuan? Jika ditilik dari sejarah, Islam merupakan salah satu titik balik kedudukan perempuan. Pada masa jahiliyah, pra-Islam, perempuan hanya dijadikan sebagai komoditas yang dapat diperjualbelikan dan diberikan sebagai hadiah. Selain itu posisinya dianggap sangat rendah sehingga ketika ada yang melahirkan bayi perempuan, bayi yang baru saja merasakan kehidupan dunia tersebut langsung dikubur hidup-hidup.

Cara pandang perempuan sebagai masyarakat kelas dua, tidak hanya terjadi di wilayah Arab pra-Islam, melainkan telah berjalan selama ratusan tahun. Dalam Undang-undang Manu misalnya, disebutkan bahwa perempuan sepanjang hidupnya tidak pernah memiliki hak-haknya sendiri dalam melakukan segala tindakan yang diinginkannya sehingga dalam urusan domestik pun mereka tidak diberi kesempatan. Baru ketika Islam datang, perempuan diangkat derajatnya dan diberi penjagaan khusus agar mampu melindungi keistimewaan yang ada pada dirinya.

Pertanyaan yang sering muncul mengenai posisi perempuan Islam adalah ketika posisi tersebut dikaitkan hak dan kewajiban dengan kaum laki-laki. Namun mungkinkah segala perbedaan mulai dari fisik hingga mental dapat disamakan begitu saja? Dalam buku Emansipasi, Adakah dalam Islam, perbedaan kewajiban perempuan dan laki-laki disebabkan oleh jenis manusia yang memiliki tabi’at dan sifat kemanusiaan yang berbeda satu dengan yang lainnya. Sehingga penanganannya pun harus dikhususkan untuk setiap jenis, tidak bisa sekadar generalisasi sebagai manusia.

Adanya perbedaan dalam hak dan kewajiban antara perempuan dan laki-laki seperti busana tertutup bagi perempuan, hak waris pria yang lebih besar, posisi perempuan dalam persaksian, kepatuhan seorang perempuan pada suaminya dll nyatanya tidak menghambat perempuan untuk beraktivitas. Hal ini terlihat dari peranan Khadijah dalam dunia perekonomian, Aisyah berperan besar dalam periwayatan hadits, Fathimah yang dengan kesabaran dan sikap zuhudnya memberi peneladanan terhadap bagaimana bersikap kepada orang yang tidak mampu, meski dirinya sendiri berada dalam kondisi kekurangan.

Kekhususan yang ada pada diri perempuan ini sayangnya seringkali tergadaikan oleh kurangnya pemahaman antara hak dan perlindungan. Perempuan yang sejatinya indah bagai perhiasan, seringkali terperangkap dalam komoditas barang hiburan. Ketika posisi perempuan hanya ditempatkan sebagai sebuah materi yang bisa dipandang secara bebas, maka materi itu harganya akan jatuh sebagaimana yang diungkapkan oleh aktris terkenal dari Rio De Jenairo, Floranda Balkan kepada majalah Rabithah ‘Alam Islami(Februari 1977, h.58), “Masyarakat saat ini selalu menuntut mode dan hidup dengan mode tersebut. Aku tak sudi menuruti mode. Aku ingin menjadi wanita, bukan sebagai benda… Sesungguhnya aktivitas-aktivitas yang mengjengkelkan saat ini adalah apa yang menamakan diri sebagai “gerakan kebebasan wanita.” Padahal gerakan-gerakan semacam itu tak akan berhasil mengubah suatu kenyataan. Laki-laki selamanya tetap laki-laki; dan wanita selamanya tetap wanita…”

Berbicara mengenai kondisi perempuan sekarang memang masih jauh dari ideal. Affirmative action(kebijakan untuk memberikan keringanan atau jatah bagi golongan-golongan yang termarjinalkan, seperti perempuan, petani, buruh, nelayan dll) menjadi sebuah kontradiksi tersendiri. Bukankah pemberian jatah tersebut merupakan suatu bukti bahwa perempuan(dan golongan termarjinalkan lainnya) memang tidak mampu bersaing secara adil dengan laki-laki? Jika dilihat secara langsung, maka jawabannya adalah ya. Namun jika kita mau melihatnya sebagai sebuah bagian dari perjalanan sejarah, maka kondisi perempuan untuk berkiprah di dunia politik(salah satu penerapan affirmative action ini adalah dengan pemberian kuota 30% di dewan legislatif bagi perempuan pada pemilu silam), pendidikan, pekerjaan dan dalam kehidupan masyarakat lainnya memerlukan usaha lebih. Hal ini disebabkan oleh masih adanya anggapan ditengah masyarakat yang berpendapat bahwa perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, tidak perlu bekerja di luar rumah dll. Anggapan-anggapan inilah yang menghambat kemajuan perempuan dan untuk merubahnya diperlukan sebuah penyikapan khusus.

Ketika kita mempertanyakan(bahkan menuntut) kesetaraan perempuan dan laki-laki dalam Islam, kita harus mendefinisikan kembali kesetaraan seperti apa yang dimaksud. Karena sejarah umat muslim sendiri dihiasi kisah-kisah kehebatan perempuan yang berkiprah di wilayah publik. Apakah kesetaraan untuk berkiprah di sektor publik, hak untuk memperoleh perlindungan terhadap kekerasaan, atau kesetaraan-kesetaraan yang malah merendahkan harkat dan martabat perempuan itu sendiri? (yuti)

Yuti Ariani

Tidak ada komentar: