Jumat, 07 April 2006

Jangan Pergi Papua

Ketimpangan bukanlah sebuah hal baru yang kerap mampir di telinga kita, bangsa Indonesia. Sudah lama hal ini menjadi masalah yang hingga kini belum juga usai. Kesenjangan mewarnai banyak bidang kehidupan sosial dan ekonomi di masyarakat. Masalah ini tentunya tak bisa dipisahkan dengan keadilan. Ketika seseorang atau suatu kelompok merasa tidak mendapatkan keadilan, akankah mereka terus berdiam diri?

Di tengah kemelut bangsa yang kini melanda, masalah Papua adalah salah satu hal yang perlu mendapat perhatian. Daerah timur Indonesia ini seakan tak pernah lepas dari problematika. Dari mulai kasus gizi buruk, Freeport, sampai beberapa penduduknya yang mencari suaka ke negeri tetangga, Australia. Dalam situasi yang jauh dari sesuatu bernama kesejahteraan dan keadilan, tak heran bila gerakan separatis pun muncul ke permukaan.

Sejak tahun 1971 PT Freeport masuk Papua dan membuka tambang Erstberg. Sejak tahun 1971 itulah warga aslinya, suku Amugme, dipindahkan dari wilayah mereka ke wilayah kaki pegunungan. Tahun 1972, Freeport melakukan ekspor perdana konsentrat tembaga. Karena saat itu USA sedang gencar berperang dengan Vietnam, harga tembaga melangit dan penambangan tembaga digenjot besar-besaran. Alhasil, Freeport menanggung keuntungan yang sangat besar dan menjadi perusahaan raksasa nan kaya raya.

Keberadaan perusahaan tambang tersebut membawa dampak yang sangat signifikan bagi pendapatan Papua. Produk Domestik Bruto (PDB) Papua memang nomor tiga seluruh Indonesia, tetapi tingkat kesejahteraan Papua ada di posisi ke-29 dari seluruh propinsi yang kini ada. Hal ini menunjukkan belum meratanya pendapatan di masyarakat. PDB Papua sebagian besar disumbang dari pendapatan Freeport yang sangat tinggi (tahun 2004 profit nettonya sebesar US$ 934 million atau 9,34 triliun rupiah). Namun kita jangan bangga dulu karena pendapatan tersebut bukan seutuhnya menjadi milik negeri kita, bahkan lebih banyak yang lari ke pihak asing (capital outflow). Karena 81,2% saham pertambangan tersebut adalah milik Freeport McMoran. Pemerintah kita melalui PT Freeport Indonesia hanya memiliki 9,4% saham saja, sementara 9,4% sisanya dimiliki oleh Indocopper Investama yang ternyata 100% sahamnya dikuasai oleh PT Freeport McMoran.

Pernyataan Wakil Presiden Jusuf Kalla bahwa kondisi ekonomi dan kesejahteraan di Freeport dan daerah sekitarnya sudah baik (Tempo, 26/02/06) pada kenyataannya tidaklah terbukti. Sebelumnya Kalla juga mengatakan Freeport telah memberikan manfaat bukan saja untuk Timika, tapi juga seluruh Papua lewat pajak, bagi hasil, dan program pengembangan komunitas.

Timika sebagai kota utama Freeport memang cukup baik karena menjadi kota utama kegiatan Freeport di mana karyawannya banyak beraktivitas. Namun, daerah lainnya yang termasuk wilayah kontrak karya seperti Yahukimo masih rendah kesejahteraannya. Bahkan beberapa waktu lalu sempat mencuat kasus gizi buruk di daerah tersebut.

Selain masalah kesejahteraan, masyarakat Papua juga mau tidak mau harus menerima kenyataan bahwa kini lingkungannya telah tercemar. Kementerian Lingkungan Hidup telah erkali-kali memperingatkan Freeport sejak tahun 1997 karena melanggar peraturan perundang-undangan tentang lingkungan hidup.

Menurut perhitungan Freeport sendiri, penambangan mereka dapat menghasilkan limbah sebesar kira-kira 6 miliar ton (lebih dari dua kali bahan-bahan bumi yang digali untuk membuat Terusan Panama). Kebanyakan dari limbah itu dibuang di pegunungan di sekitar lokasi pertambangan, atau ke sungai-sungai yang mengalir turun ke dataran rendah basah, yang dekat dengan Taman Nasional Lorentz, sebuah hutan hujan tropis yang telah diberikan status khusus oleh PBB.

Jadi, yang perlu dipertanyakan adalah apakah dari sekian banyak kekayaan alam yang dikuras dari bumi Papua itu para penduduknya tidak mendapatkan apa-apa? Apakah mereka hanya disisakan kemiskinan dan penderitaan? Bentuk-bentuk tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility) yang dipublikasikan dalam website perusahaan Freeport (http://www.ptfi.com) juga patut diberi tanda tanya besar karena warga Papua belum merasakan peningkatan kesejahteraan yang berarti.

Gonjang-ganjing di Papua kini juga diwarnai dengan perginya 42 warga Papua ke Australia untuk mencari suaka. Selain protes terhadap pemerintah Australia karena telah memberikan visa sementara, pemerintah Indonesia juga seharusnya menjadikan kasus ini sebagai peringatan akan terancamnya integritas bangsa. Jangan sampai ketidakadilan yang dirasakan oleh sebagian warga negara membuat nasionalisme mereka luruh dan akhirnya pudar.

Sudah saatnya pemerintah memprioritaskan pemerataan sosial dan ekonomi di Indonesia. Apakah pemisahan diri Timor Timur harus juga terjadi pada Papua???

Maisya Farhati
Mahasiswa Fakultas Ekonomi UGM Jurusan Ilmu Ekonomi

Tidak ada komentar: