Jumat, 02 Juni 2006

ROKOK, Ugh!!

Suasana di dalam kereta Senja Utama jurusan Yogyakarta-Jakarta malam itu terasa cukup sesak. Maklum lah, bukan kereta eksekutif… Di setiap pemberhentian di stasiun-stasiun tertentu, pasti saja kereta diramaikan oleh kehadiran berbagai pedagang yang berjejalan masuk ke dalam kereta. Suasana yang tidak terlalu nyaman itu juga dilengkapi oleh asap rokok yang berkeliaran di udara. Ugh!!
Itu bukan kali pertama penulis mengalami hal demikian. Kejadian serupa juga sering ditemui di tempat umum lainnya seperti bis, pusat perbelanjaan, bahkan di lingkungan kampus. Banyak orang yang merokok di tempat umum dan, secara sadar ataupun tidak, telah menjadikan orang lain sebagai perokok pasif yang bahayanya tidak kalah dari perokok aktif. Mungkin ada sebagian orang yang menganggap hal ini biasa saja, namun banyak pula yang sangat merasa terganggu karenanya.
Rokok yang bahan dasarnya berasal dari daun tembakau ini mengandung bahan penyebab kanker seperti arsen, benzena, kadmium, hidrogen sianida, dan toluen. Bahan tersebut juga menyebabkan efek negatif seperti asma, insomnia, batuk kering, penyakit paru-paru, dan impotensi. (Ensiklopedi untuk Umum dan Pelajar)
Berbicara tentang rokok, memang sudah sejak lama menjadi masalah yang dilematis. Ada dua kepentingan yang bersifat saling antagonis antara kesehatan dan ekonomi. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan konsumsi tembakau menjadi penyebab utama meningkatnya angka kematian. Sejak tahun 1990 hingga 2000, angka kematian naik sampai dengan 7,9%. Selain itu, menurut Deputi Menko Kesra Bidang Koordinasi Kesehatan dan Lingkungan Hidup, HM Sukawati Abubakar, pada abad ke-20, 100 juta penduduk dunia meninggal dunia karena rokok.
Ketika banyak pihak berkampanye anti rokok, pada saat yang sama para produsen rokok juga gencar melakukan promosi akan produk mereka. Lihat saja di televisi, media cetak, maupun di papan-papan reklame, para produsen rokok berlomba-lomba menampilkan iklan seatraktif mungkin. Dan patut kita akui bahwa iklan-iklan tersebut memang cukup menarik dan ‘menyentil’ pihak-pihak tertentu. Sebut saja A Mild yang terkenal dengan berbagai iklan versi ‘Tanya Kenapa’.
Konsumen rokok pun sepertinya tak peduli dengan imbauan pada setiap iklan produk rokok. Kata-kata Merokok dapat menyebabkan penyakit jantung, kanker,dstsepertinya hanya angin lalu bagi mereka. Staf ahli Menteri Kesehatan Bidang Kelembagaan dan Desentralisasi, Dwijo Susono, menyebutkan bahwa saat ini sekitar 70% penduduk Indonesia tergolong perokok aktif. Kondisi ini menempatkan Indonesia pada posisi ke lima negara konsumen tembakau setelah Cina, Amerika Serikat, Rusia, dan Jepang. (Republika, 1 Juni 2006)
Bagaimanapun, bahaya rokok tidak akan hilang selama barang tersebut memang masih legal dijual di pasaran dan dapat diperoleh dengan mudah oleh konsumen. Jika tidak terbentur masalah ekonomi, dengan mudahnya masalah ini dapat ditanggulangi dengan menilik sampai ke akar permasalahan, yaitu menutup pabrik rokok. Namun, sudah menjadi wacana klasik bahwa pabrik rokok memberikan sumbangan yang cukup besar bagi negara dan membuka lapangan kerja bagi banyak orang. Rata-rata pendapatan negara dari cukai rokok per tahunnya adalah Rp27 triliun. Dilihat dari angka tersebut, tentunya bukan perkara mudah bagi pemerintah untuk menutup pabrik-pabrik rokok. Tapi, sepertinya pemerintah lupa bahwa dana (yang dibutuhkan) untuk menanggulangi penyakit akibat tembakau mencapai Rp81 triliun per tahun. Jadi, apakah keberadaan rokok masih menguntungkan?
Tanpa tergantung wacana klasik antara sisi kesehatan dan ekonomis yang sudah dipaparkan di atas, Anda bisa menimbang suatu hal dari sisi positif dan negatifnya, atau dalam istilah ekonomi dikenal sebagai cost benefit ratio. Apakah keuntungan/manfaat yang didapat (sebagai individu) dengan mengkonsumsi rokok itu lebih besar daripada biaya yang mesti dikeluarkan. Karena jika penulis amati, sebenarnya mereka yag merokok itu tidak mendapatkan value added yang esensial. Misalnya hanya untuk menghilangkan kebosanan atau “temen nongkrong”, seperti yang diungkapkan oleh rekan penulis, seorang mahasiswa Perguruan Tinggi Negeri di Bandung. Apakah mereka rela mengorbankan nyawa merekahanya untuk kesenangan sesaat? Tetapi ada pula orang yang memang—katanya—tidak bisa bekerja tanpa ditemani rokok. Dalam pandangan subjektif penulis, itu hanyalah alasan yang dipaksakan. Toh itu adalah kebiasaan yang bisa saja dihilangkan jika orang tersebut mau berusaha dengan sungguh-sungguh.
Pada akhirnya, keputusan ada di tangan masing-masing individu. Jika keputusan akhir Anda adalah tetap memilih mengkonsumsi rokok, itu hak Anda. Namun, harus Anda ingat bahwa orang lain pun mempunyai hak untuk menghirup udara bersih tanpa asap rokok.

Maisya Farhati
Jurusan Ilmu Ekonomi
Fakultas Ekonomi, UGM

Tidak ada komentar: