Kamis, 22 Juni 2006

Pemisahan Agama

One grim Weltanschauung for this new era was well expressed by the Venetian nationalist demagogue in Michael Oibdin’s novel, Dead Lagoon: “ There can be no true friends without true enemist. Unless we hate what we are not, we cannot love what we are. These are the olds truths we are painfully rediscovering after a century and more of sentimental cant. Those who deny them deny their family, their heritage, their culture, their birthright, their very selves! (dikutip dari The Clash of Civilizations And the remaking of World Order, Samuel Huntington)

Sejarah Agama, mencatatkan sebuah pertempuran antar agama, tetapi ada satu yang tidak terusik yakni pertempuran didalam agama itu sendiri.

Sejarah yang tersirat menyebutkan upaya pembebasan intelektual dalam agama menyisakan banyak korban, dan yang salah satunya adalah pertentangan antar para intelektual dengan gereja tentang tuhan, yang kemudian menjadi pihak yang tidak beragama dan tidak beragama, yang kemudian menjadi salah satu pihak yang dikafirkan dengan hukuman pancung di …..

Yang padanya sejarah mencatatkan intelektual-intelektual pengusung renaissance sebagai seorang atheis bahkan kafir. Ketidakpuasan terhadap gereja pun (monopoli gereja memberikan pengampuan atas pengakuan dosa) memberikan gelombang besar atas munculnya Kristen protestan. Sejarah yang sedemikian besar ini menjadi kabur, yang dikarenakan entah salah siapa, tetapi yang jelas inilah sebuah pelajaran sejarah terhadap penahanan dinamisasi agama dalam jiwa manusia yang kompleks dan dinamis.

Tidak pernah ada pemaksaan agama dalam agama manapun, yang menjadikan setiap manusia bebas mengekspresikan keimanannya sendiri tanpa melibatkan atau memaksakan pada orang lain, yang dilihat dari kacamata orang kedua sebagai bentuk dari penyesatan.

Sejarah eropa yang sedemikian kelam itu, hingga menutupi semua jalan menuju kemajuan dengan dalih kekuasaan yang dimonopoli oleh sebagian kecil manusia, dan perangkat keagamaan (gereja red.) menjadi salah satu alatnya, adalah salah satu babak sejarah yang tidak memberikan kemajuan apapun, hingga heliosentris menjadi awal yang mencoba menggugatnya.

Penciptaan daerah koloni-koloni baru bangsa eropa, yang terbesar di amerika menjadi bukti salah satu bentuk pelarian terhadap kebebasan beragama yang tidak terikat dengan pihak gereja. Dengan kata lain, dunia baru itu adalah sebuah pengasingan atau ketidakterikatan dengan gereja.

Sejarah kelam eropa itulah yang menjadi awal perkembangan keilmuan yang global ini, pengalaman pahit untuk menyatukan agama dengan kebebasan berfikir telah menjadikan upaya ini menjadi salah satu opsi yang berusaha ditinggalkan puluhan generasi, hingga perlahan sejarah itu hanya menjadi cerita yang menarik untuk ditonton tanpa merasakan petualangan dalam kisahnya.

Internasionalisasi dalam keilmuan menciptakan sebuah paradoks kompleks yang tidak terpecahkan. Dan sayangnya sejarah tidak memberikan pelajaran untuk tidak mengeneralisasi latar belakang keilmuan yang berkembang. Keilmuan global yang berkembang dewasa ini tidak memberikan tempat bagi agama dan tuhan kecuali dalam hati manusia itu sendiri.

Kebebasan berfikir tidak didasari oleh peraturan-peraturan dasar agama atau keyakinan spiritual, tetapi lebih pada pelepasan terhadap faktor-faktor imajiner yang berupa nilai-nilai ketauhidan. Semua teori keilmuan dewasa ini tidak memberikan tempat bagi agama, kecuali memaksakan agama masuk dalam sebuah perhitungan yang matematis, absolut, atau dalam keadaan ideal-statis, agar bisa dipegunakan sebagai faktor real.

Dinamisasi agama pada akhirnya hanya diemban oleh ortodonsi terhadap sebuah keyakinan yang sakral, yang sebenarnya juga mengekang dinamisasi. Agama yang sebenarnya memberikan sebuah ladang besar tentang memanfaatkan akal fikiran manusia untuk berkembang.

Poin-poin utama tentang Human Rigths didapatkan dari ajaran agama, perjuangan penegakan hak asasi manusia selalu didapatkan dari bias spiritual agama dalam diri seseorang. Akan tetapi mewujudkan itu dalam tatanan formal, menjadi kendala, hukum-hukum positif yang berkembang dan menjadi kebijakan landasan hukum adalah hukum yang menyingkirkan nilai-nilai non-materi yang hanya menyisakan determinasi hakim untuk memutuskan perkara secara irrasional obyektif, sehingga hakim yang seperti itu pun terpaksa terkucil dalam dunia formal.

Penegakan hukum dengan dalih nilai-nilai moral menjadi porsi yang kesekian dibanding perkara pidana-perdata tentang pengrusakan hak milik dan melawan hukum.

Artinya bila konstruksi ini pemikiran ini tidak diperbaiki secara totalitas, bertahap dan periodik maka determinasi individu dalam satu periode kehidupan tidak akan mampu bertahan lama untuk periode-periode berikutnya. Dalam tatanan realitas hukum formal ini yang akan menjadi agama dasar bagi manusia, dan bila ini terjadi, agama akan hilang, porsi-porsi penegakan hak asasi akan hilang, barbarisme klasik akan terulang dengan mengatasnamakan hukum yang statis dengan dalih konsistensi.

Pemisahan agama menjadi sebuah tindakan yang tidak disengaja, yang timbul dari upaya penstatisan agama dalam tataran praktis yang menutup pintu ijtihad dan memberikan ruang untuk timbulnya pemanfaatan dari celah tersebut.

Budaya yang terkandung didalamnya paganisme, khusus diindonesia, yang belum bisa berasimilasi sempurna dengan agama menjadi alasan membedakan budaya dan agama.

Penguasaan individu terhadap individu lainnya lahirnya dari adanya celah yang diberikan oleh hukum formal yang statis, bila upaya formalisasi agama dilakukan, maka dengan tidak sengaja upaya dinamisasi yang mendasari setiap pergerakan kompleksitas manusia akan terstatisasi, dan itu artinya mencoba mereduksi dinamisasi agama, yang artinya pula menghilangkan agama.

Abdullah Arifianto
IAIC Learning Center

Tidak ada komentar: