Jumat, 20 Januari 2006

Apa yang Dokter Lakukan di Ruang Prakteknya? (bagian dua dari dua tulisan)

Apa Saja yang Diperiksa Dokter?

Pemeriksaan jasmani/fisik merupakan prosedur standar yang sebaiknya meliputi seluruh organ tubuh manusia, mulai dari ujung rambut hingga ke ujung kaki. Pada prinsipnya, bisa saja organ-organ tertentu mengalami kerusakan dan tidak terdeteksi atau dirasakan pasien. Dosen-dosen mengajarkan, dokter mesti mampu menjadi detektif ulung sekaligus ustadz yang berbudi. Dokter yang berkecimpung di bidang penyakit dalam, terutama geriatri1 tentu akan melakukan pemeriksaan fisik yang detail dan menyeluruh, sebab tidak semua pasien mampu menceritakan keluhannya dengan baik.

Sementara dokter bedah yang bertugas jaga di instalasi gawat darurat tentu lebih memperhatikan organ-organ tertentu saja yang sedang mengalami kerusakan. Tidak perlu melakukan pemeriksaan rambut sedangkan kaki pasien sudah ‘buntung’ dan memerlukan penyambungan segera.


Di antara berbagai tipe penyakit, terdapat beberapa penyakit yang menjadi frequent patient complain. Di negara manapun, common cold (bahasa kerennya: meriang atau masuk angin; batuk pilek nggak enak badan) menempati urutan pertama penyakit yang membuat pasien pergi ke dokter. Di indonesia, disusul oleh berbagai penyakit tropik, seperti Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA), demam tifoid (tifus), demam berdarah Dengue, apendisitis (usus buntu), serta penyakit-penyakit degeneratif (penyakit orang lanjut usia) macam diabetes, hipertensi, sindrom dispepsia, dll.

Beberapa contoh pemeriksaan fisik yang sering dokter lakukan ialah auskultasi1 bunyi paru (pernapasan) serta bunyi jantung. Bunyi pernapasan menjadi penting didengar karena banyak sekali pasien yang datang dengan keluhan gangguan pernapasan, berupa pilek, batuk, terutama batuk berdahak dan berkepanjangan. Auskultasi jantung juga penting dilakukan karena penyakit jantung sering menyerupai manifestasi penyakit-penyakit lain. Selain auskultasi dada, auskultasi perut juga dilakukan untuk mengetahui bising usus (kriuk,,kriuk,,). Selebihnya, pemeriksaan disesuaikan dengan dugaan tentang penyakit tersebut. Bisa dari mata, gigi, gusi, tangan, kaki, dan sebagainya.

Mengapa Bayar Mahal?

Ketika dokter dihadapkan pada penyakit tertentu, yang ada di pikiran mereka ialah struktur anatomis dan fisiologi manusia serta kemungkinan kerusakan organ akibat penyebab tersebut. Karenanya, seorang dokter mesti bersekolah sangat lama dan nantinya ilmu dari sekolahannya dulu akan kurang berguna lagi. Dokter yang baik akan terus memperbarui ilmunya yang berubah bukan dalam hitungan puluhan tahun, namun dari bulan ke bulan, karena kesehatan merupakan lahan yang subur untuk penelitian, banyak biaya, banyak kepentingannya, tak heran biaya untuk memperoleh ilmu tersebut tidaklah sedikit.

Sebagai gambaran, di samping mahasiswa kedokteran yang memang biaya pendidikannya sangat jauh melampau mahasiswa lainnya, para mahasiswa ini pun mesti rela waktu mudanya dihabiskan untuk belajar dengan giat sebaik mungkin agar tidak ketinggalan sedikitpun. Calon Dokter yang agak malas belajar sebenarnya bisa dikatakan dapat membahayakan kualitas hidup manusia ketika nanti dia praktek di masyarakat.

Belum lagi para dokter spesialis yang setiap tahun mesti memperbarui ilmunya dengan mengikuti konferensi tingkat nasional serta kongres internasional dan regional. Tak heran dokter-dokter tersebut sering bolak-balik ke luar negeri. Selain menghadiri pertemuan ilmiah, mereka pun mesti membangun relasi dengan dokter di negara lain agar kualitasnya tidak kalah di mata dunia.

Kuliahnya melelahkan, biaya kuliahnya mahal, membutuhkan nalar dan kemampuan berpikir yang tinggi, mesti memperbarui ilmu terus-menerus, ditambah sering dituntut jika sedikit saja melakukan (dugaan) kesalahan, merupakan sebagian alasan yang menyebabkan biaya kesehatan memang mesti tinggi, di manapun dia berada.

Kecuali kamu tinggal di Kuba atau Vietnam, pemerintah di sana membiayai semua pelayanan kesehatan dari primer hingga tersier (yang canggih-canggih). Sedangkan di Amerika dan Eropa (barat) hampir semua penduduknya mesti memiliki asuransi kesehatan. Dengan demikian masyarakat mesti membayar premi, bukan jasa. Di negara kita, sistem yang dipakai ialah fee for service, out of pocket, yakni dokter dibayar dari kantong pasien yang bersangkutan. Namun bedanya, di sini ada Askes untuk pegawai negeri dan Jaring Pengaman Sosial (JPS) Keluarga Miskin (Gakin) untuk orang-orang miskin.

Malah Memperburuk

Satu kasus medis yang sering sekali menjadi contoh mengenai keengganan pasien berobat ke dokter kemudian malah memperburuk keadaan ialah patah tulang. Patah tulang (fraktur) secara gampang memiliki arti diskontinuitas rangka manusia. Kasus medis ini relatif mudah ditangani oleh dokter umum, serta memiliki prognosis yang baik jika diterapi dengan baik.

Sayangnya, 80% orang yang patah atau diduga patah tulangnya, terutama akibat kecelakaan, bukannya dibawa ke dokter namun lebih memilih diantar ke dukun, tabib, atau ahli patah tulang terdekat. Alasannya macam-macam, bukan saja sekedar enggan membayar lebih untuk ke dokter, namun ada juga yang beralasan, di dokter sembuhnya lama, repot karena mesti digips, atau takut dioperasi.

Padahal, pengobatan patah tulang yang paling utama ialah imobilisasi, yakni menjaga tulang yang patah tidak (banyak) bergerak dari posisi normalnya. Dengan demikian, kalau tulangmu patah dan kamu pergi ke dokter, niscaya kamu akan dibantu supaya tulangmu yang patah tidak banyak berpindah dari posisi normalnya dengan cara diberi gips. Cukup simpel. Sebagai pelengkap, kamu mungkin akan diberikan pain reliever (analgetik) atau antiinflamasi (antiradang) jika terdapat tanda-tanda peradangan di daerah tulang yang patah. Antibiotik tidak banyak diberikan kecuali terdapat luka terbuka yang menganga lebar. Antibiotik dan imunisasi (antitetanus) ini biasanya diberikan dengan cara disuntik.

Pasalnya, tulang manusia merupakan organ yang sangat mudah berproliferasi dan regenerasi dengan cepat asalkan dipertemukan dengan organ lain yang berdekatan. Jadi, kalau tulangmu patah dan tidak digips, malah diurut (baca: dipaksa) agar bentuknya kembali seperti semula, dikhawatirkan ada fragmen tulang yang malah terpisah dari pasangannya, kemudian menjauh, sehingga proses penyembuhannya berlangsung tidak optimal. Lebih lama, lebih sakit, dan tak jarang, hasil akhirnya, bentuknya jadi aneh; miring-miring, bengkok, dsb. Kalau sekedar bengkok di tangan sih nggak terlalu masalah. Namun jika bengkok ini di kaki (tungkai), seumur hidup orang tersebut akan jalan pincang.

Dari 80% pasien patah tulang yang akhirnya ke dukun, sekitar 85-90% akan kembali ke dokter dengan berbagai keluhan. Ada yang miring-miring dan pincang (nonunion postfracture os tibiofibula), ada yang jadi borokan di tulang karena infeksi (osteomyelitis), ada juga yang nggak kuat menahan sakit dan merasa ngeri karena setiap hari mendengar gesekan tulang-tulang yang tidak diimobilisasi.

Dengan demkian, sebisa mungkin jika sakit, pilihlah dokter yang dipercaya dan berobatlah ke sentra pengobatan terdekat. Jika kurang mampu ke dokter spesialis, silakan ke dokter umum, jika kurang mampu juga, bisa ke Puskesmas atau RS Pemerintah.

Zaman sekarang sebenarnya semua kalangan bisa tertolong untuk pergi ke pengobatan yang benar. Para karyawan biasanya dijamin oleh kantornya dengan asuransi. Para pegawai negeri memiliki Askes untuk berobat ke puskesmas dan rumah sakit pemerintah. Para keluarga militer bisa mendapatkan jaminan kesehatan untuk berobat, terutama di rumah-rumah sakit militer. Orang-orang yang miskin bisa mengurus surat keterangan miskin untuk memperoleh JPS-Gakin agar bisa berobat gratis di rumah sakit pemerintah.

Yang jadi masalah ialah repotnya birokrasi untuk mengurus beberapa hal di atas serta keengganan masyarakat untuk mengurus hal tersebut. Sebagian pasien juga ada yang merasa gengsi untuk mengurus surat Gakin atau menggunakan Askes. Sebagian lagi dari karyawan swasta masih ada saja yang melebih-lebihkan kwitansi pengobatan agar mendapat penggantian yang lebih besar. Alih-alih jadi untung, ketika besok-besoknya dia sakit, justru perusahaan menjadi kurang percaya dengannya.

Lepas dari itu semua, yang paling penting sebenarnya ialah MENJAGA KESEHATAN. Inilah nikmat termahal yang diberikan Allah kepada kita. Jagalah sebaik mungkin, sebab pengobatan hanyalah menyembuhkan sekitar 20% dari fungsi tubuh secara normal. Yang paling utama ialah bagaimana kita menjaga agar jangan sampai menjadi sakit. Sedia payung sebelum hujan, prevention is much better than curation.

Farid Abdul Hadi (Mahasiswa Kedokteran UI)

Tidak ada komentar: