Jumat, 06 Januari 2006

Teknologi dan Masyarakat

Mampukah teknologi meningkatkan kesejahteraan masyarakat? Jawabannya harus ya, karena teknologi diciptakan untuk mempermudah kehidupan manusia. Namun pada kenyataannya, teknologi bukan hanya sebatas alat untuk mempermudah kehidupan manusia. Keberadaan suatu teknologi terkait erat dengan faktor sosial-ekonomi. Seperti keberadaan IPTN(kini PT DI) yang kelangsungannya terkait erat dengan keadaan moneter.

Pada tahun 1996, salah satu topik yang hangat diperbincangkan adalah keberhasilan Indonesia membuat pesawat. Keberhasilan ini kemudian diabadikan dalam momen Indonesia Air Show(IAS) 1996, dimana Gatot Kaca menjadi primadona diantara pesawat tempur-pesawat tempur dari Amerika dan Rusia yang turut memeriahkan ajang bertaraf internasional tersebut.

Sayangnya kebanggaan masyarakat Indonesia akan keberhasilan Gatot Kaca bukan jaminan keberlangsungan pembuatan pesawat-pesawat nusantara lainnya. Krisis tahun 1997 silam, mengakibatkan IPTN, harus melakukan banyak perampingan, mulai dari alokasi dana hingga pengurangan tenaga kerja. Pro-kontra IPTN pun mulai mengemuka ke wilayah publik. Pihak pro menilai IPTN sebagai sebuah aset jangka panjang yang harus dipertahankan. Sedangkan salah satu alasan yang dilontarkan oleh pihak kontra adalah, masyarakat Indonesia saat ini lebih membutuhkan teknologi tepat guna yang dapat mendukung kehidupan masyarakat secara langsung. Teknologi tepat guna inilah yang seharusnya memperoleh prioritas.

Terlepas dari pro-kontra PT DI dengan teknologi tingginya, teknologi seharusnya tidak hanya menjadi milik sebagian elit. Kaum elit ini adalah orang-orang yang memahami dan memiliki akses pada teknologi. Secara alami kaum elit ini tidak terhindarkan, karena untuk memahami suatu teknologi diperlukan pendidikan, pelatihan serta praktek yang membutuhkan waktu. Namun keadaan ini tidak boleh dibiarkan dengan memfokuskan penerapan teknologi pada tempat atau kalangan terbatas. Penerapan teknologi yang terpusat di kota-kota besar misalnya, menyebabkan desa ditinggalkan oleh orang-orang usia produktif. Selain itu, desa yang ditinggalkan cenderung masih menggunakan pola-pola pengolahan hasil perkebunan atau pertanian secara konvensional.

Dalam tulisannya yang berjudul Perspektif Pengembangan Teknologi Tepat Guna, Prof. Dr. Muhammadi Siswo Sudarmo mengungkapkan, ada empat parameter keberhasilan sebuah teknologi. Faktor pertama adalah kelayakan teknis. Faktor kedua, teknologi harus menghasilkan produktivitas ekonomi atau keuntungan finansial. Faktor ketiga, teknologi harus dapat diterima oleh masyarakat pengguna. Dan yang terakhir, teknologi harus serasi dengan lingkungan.

Hal menarik yang diungkapkan oleh Prof. Dr. Muhammadi mengenai penerapan teknologi di daerah pedesaan--yang masyarakatnya termasuk golongan menengah kebawah--adalah adanya sindrom kemiskinan. Sindrom ini merupakan keadaan masyarakat yang pasrah akan kemiskinannya, dan tidak merasa perlu atau tidak mampu untuk berjuang meningkatkan kesejahteraannya. Adanya sindrom ini berpengaruh pada keberhasilan teknologi faktor ketiga. Selain karena adanya sebuah ‘kemapanan’ akan kondisi mereka, teknologi tepat guna juga sering dipandang sebagai benda asing. Hal ini terungkap dari penerapan teknologi tepat guna di beberapa kecamatan. Seperti tungku Singer yang efisien, kurang berhasil karena tidak diminati oleh masyarakat.

Pada masyarakat perkotaan, teknologi hadir disertai sebuah proses. Masyarakat pengguna mengetahui darimana asal serta manfaat sebuah teknologi. Sedangkan di masyarakat pedesaan, teknologi lebih sering diadopsi. Artinya, keinginan akan perubahan tidak datang dari masyarakat itu sendiri melainkan dari luar. Keadaan ini cocok dengan gambaran sindrom kemiskinan, yaitu tidak mau merubah kondisi yang ada pada diri mereka, apalagi dengan menerima sebuah cara-cara baru dalam bertanam, mengolah minyak sawit, mengawetkan manisan nanas dll.

Ada dua persoalan penting yang menyebabkan teknologi sulit memasyarakat. Pertama, dari segi teknologi itu sendiri. Pada kasus teknologi hasil adopsi, ada kemungkinan teknologi yang dibawa tidak sesuai dengan topografi, kondisi sosial-ekonomi masyarakat yang akan menggunakan teknologi tersebut. Seperti, penggunaan kincir angin sebagai penghasil listrik. Tidak di semua tempat kincir angin efisien, bagi Indonesia yang daerahnya senantiasa memperoleh sinar matahari, mungkin lebih efisien jika menggunakan pembangkit listrik tenaga surya. Selain itu, untuk daerah pedesaan, teknologi yang muncul pada umumnya merupakan hasil dari pengamatan ahli yang berasal dari luar. Akibatnya, teknologi yang dihasilkan merupakan perkiraan/pendekatan dari penafsiran ahli tersebut terhadap kebutuhan suatu desa.

Persoalan kedua muncul dari masyarakat pengguna. Tradisi atau cara-cara tradisional yang mereka lakukan secara turun temurun cukup sulit diubah. Dari beberapa cerita yang penulis peroleh, penerapan teknologi tepat guna lancar selama proses pendampingan. Namun saat memasuki tahap pengawasan yang dilakukan dengan periode waktu tertentu, masyarakat pada umumnya kembali menggunakan pola-pola lama. Hambatan dari masyarakat juga disebabkan karena minimnya informasi akan apa yang mereka lakukan. Ada kasus suatu daerah yang terbuka akan perubahan, namun kesempatan ini dimanfaatkan oleh suatu produsen untuk menciptakan ketergantungan masyarakat desa pada satu produk ini.

Selain itu permasalahan banyaknya tengkulak serta tarikan-tarikan tidak resmi dari berbagai oknum juga memperumit hubungan antara teknologi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dari uraian di atas terlihat bahwa teknologi tidak sebatas bagaimana menciptakan mesin-mesin canggih yang efektif dan efisien, namun juga meliputi persoalan sosial, budaya, manajemen serta komunikasi.

Karena itu nama pesawat Gatot Kaca yang diambil dari tokoh dalam pewayangan, selayaknya tak hanya menjadi bagian dari sejarah. Sebagaimana kisahnya yang mampu bertransformasi setelah masuk ke kawah candradimuka, yang menjadi tugas kita adalah: bagaimana memanfaatkan kawah candradimuka bernama tantangan global, menjadi sebuah sarana untuk melahirkan Gatot Kaca-Gatot Kaca baru yang mampu mensejahterakan rakyat? []

Yuti Ariani (Mahasiswa Matematika ITB)
Jl. Cihapit no. 9
Bandung 40114
(022) 4206377
0815 6069 266

Tidak ada komentar: