Jumat, 20 Januari 2006

Apa yang Dokter Lakukan di Ruang Prakteknya? (bagian satu dari dua tulisan)

Banyak yang bukan berlatar belakang medis mungkin bertanya, mengapa kita mesti membayar jasa dokter begitu mahal untuk sebuah pelayanan yang hanya beberapa menit saja. Biaya ini belum termasuk harga obat yang mesti ditebus di apotek serta biaya ini-itu yang jumlahnya juga tidak sedikit.

Pertanyaan di atas sering terlontar di kalangan awam dan tak jarang menjadi alasan utama mengapa seseorang –terutama dari kalangan sosial menengah dan menengah ke bawah- memilih untuk tidak berobat ke dokter jika dirinya sedang sakit. Pertanyaan ini pulalah yang membuat larisnya pengobatan-pengobatan alternatif, dukun modern, serta tabib-tabib yang keliling kampung. Jika ditinjau dari segi kesehatan makro dan mikro, fenomena ini pula yang menjadikan taraf kesehatan masyarakat Indonesia masih jauh dari menggembirakan. Alih-alih menjadi sembuh, tak sedikit yang akhirnya pergi ke dokter dengan tujuan ‘mereparasi’ hasil pengobatan alternatif yang memperburuk penyakit.

Para pasien yang datang ke dokter dengan berbagai keluhan sebenarnya merupakan gunung es dari total masyarakat Indonesia, terutama di pedesaan yang sebenarnya sakit namun tidak memilih untuk pergi ke dokter. Pemerintah pun kesulitan mendata ratusan jenis penyakit, terutama penyakit tropik infeksi, yang telah dan pernah terjadi di negara ini. Sedangkan untuk menentukan kemakmuran suatu bangsa dalam Human Development Index, kesehatan menempati prioritas penilaian yang tinggi bersama pendidikan dan ketersediaan pangan. Karenanya, tak heran kalau sampai sekarang negara kita belum bisa dibilang makmur.

Life-Long Study

Mengapa kita mesti datang ke dokter? Jawaban yang utama ialah karena kita ingin sembuh dari suatu penyakit. Kemudian mengapa mesti ke dokter, sedangkan terdapat media-media lain yang dikabarkan mampu melakukan pengobatan yang mujarab. Jawabannya karena ilmu kedokteran merupakan salah satu cabang ilmu tertua di dunia dan selalu mengalami revisi yang bermakna dari waktu ke waktu. Itulah sebabnya seorang dokter yang baik akan senantiasa menerapkan prinsip life-long study, pembelajaran yang tiada akhir.

Bisa jadi metode pengobatan di tahun 2005 ini akan mengalami perubahan 1800 di tahun yang akan datang. Menurut para dosen di fakultas kedokteran, sebagian besar ilmu yang diperolehnya di waktu kuliah sudah tidak layak diterapkan lagi untuk pengobatan zaman sekarang. Bukan berarti masa kuliahnya menjadi sia-sia, namun pembelajaran di waktu kuliah akan sangat membantu pemahaman yang baik mengenai proses terjadinya penyakit dan penatalaksanaannya.

Sebenarnya dalam dunia kedokteran pun telah dikenal berbagai metode pengobatan yang sebagian telah diakui melalui Randomized Controlled Trial (RCT)1 seperti akupunktur, metode pengobatan cina, beberapa ramuan jamu, serta metode lainnya yang sangat bervariasi dari berbagai negara. Semua metode ini dikelompokkan sebagai alternative and traditional medicine (ATM). Nah, ATM yang sudah melalui RCT di Indonesia tidak banyak jenisnya. Yang sudah diakui secara internasional hanyalah akupunktur dan pengobatan cina. Di luar dari itu, tidak pernah teruji atau tidak pernah diuji keabsahannya.

Memang, banyak yang mengeluh datang ke dokter bukannya menjadi sembuh malah sering menjadi sakit. Apalagi jika dokter yang menangani terlihat kurang profesional dan kadang membuat kesalahan di depan pasiennya. Namun demikian, tetap saja apa yang telah dokter pelajari merupakan proses dari revisi ilmu kedokteran yang terjadi terus-menerus. Mungkin kesalahan yang terjadi atau ketidakpuasan pasien ialah salah persepsi dengan apa yang telah dilakukan dokternya.

Apa yang Dikerjakan Dokter?

Pada prinsipnya profesi dokter terbagi menjadi beberapa subtipe. Ada dokter yang berkiprah di pemerintahan dan penentu kebijakan, seperti para dokter yang berada di Departemen Kesehatan. Ada juga yang berorientasi pengembangan kedokteran internasional, seperti para dokter yang berada di UN Agency macam Unicef, WHO, Unesco, dll. Ada pula dokter yang memilih bekerja di perusahaan farmasi, kosmetik, makanan, hingga ada pula yang memilih untuk menjadi artis. Sedangkan sisanya, yang terbanyak kita temui, ialah dokter yang berprofesi sebagai klinisi atau klinikus, yakni dokter yang brtugas menyembuhkan orang yang sakit.

Sebagian besar mindset yang tergambar di pikiran masyarakat ialah dokter yang berjas putih, mengalungi stetoskop, berkaca mata, dan bertugas menyembuhkan orang sakit. Profesi demikianlah yang memang membuat pendidikan dokter tersohor dengan lama dan beratnya. Seorang dokter yang baik mesti menguasai struktur dan fungsi dasar manusia sehat serta manusia yang sakit. Khusus masalah sakit, seorang dokter juga mesti memahami ratusan penyakit yang ada di dunia. Itulah sebabnya profesi dokter sering dipilah-pilah menjadi spesialistik tertentu. Meski demikian, dokter spesialis apapun wajib melalui pendidikan dokter umum dan menguasai penyakit manusia secara keseluruhan.

Dalam praktek dokter, pada dasarnya kegiatan yang dilakukan ialah menegakkan diagnosis1 serta melakukan tata laksana terhadap pasien yang sakit. Menegakkan diagnosis dilakukan dengan beberapa langkah dasar, yakni melakukan wawancara (anamnesis) kepada pasien atau keluarganya, kemudian melakukan pemeriksaan jasmani terhadap organ yang kemungkinan terpengaruh penyakit tertentu, serta melaksanakan pemeriksaan penunjang dengan bantuan alat-alat medis yang lebih canggih. Tahap-tahap inilah yang penting dalam menegakkan diagnosis dan tidak semua tahap mesti dilakukan.

Anamnesis

Wawancara terhadap pasien bisa dilakukan secara alloanamnesis (menanyakan kepada keluarga atau pendamping pasien) serta autoanamnesis (bertanya langsung pada si sakit). Anamnesis merupakan tahap paling penting dalam menegakkan diagnosis penyakit. Beberapa pakar menyebutkan bahwa 60 sampai 99% persen diagnosis penyakit dapat disimpulkan dari anamnesis. Sisanya baru dilengkapi dengan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.

Sistematika anamnesis terdiri dari keluhan utama (keluhan yang membawa pasien untuk datang mencari pertolongan medis), riwayat penyakit yang terjadi sekarang, riwayat penyakit terdahulu, riwayat penyakit keluarga dan lingkungan, keadaan sosioekonomi, serta keadaan psikologis pasien.

Teorinya, semua hal yang tercantum dalam komponen anamnesis merupakan hal yang tak boleh ditinggalkan guna menghasilkan diagnosis yang akurat. Namun pada prakteknya, anamnesis yang lengkap dan terstruktur membutuhkan waktu yang tidak sedikit (sekitar 15 hingga 20 menit perpasien). Dengan demikian seorang dokter mesti memiliki prioritas tersendiri tentang apa-apa yang mesti ditanyakan berkaitan dengan penyakit yang ia duga. Tak jarang pula dokter-dokter yang berpengalaman mampu mengenali penyakit hanya dengan sekilas melihat pasien.

Seorang dokter mesti menjadi sosok ilmuwan yang teliti dan penuh keingintahuan terhadap berbagai gejala yang muncul. Di satu sisi, dokter yang baik juga mesti memiliki emotional quotient yang tinggi agar pasien merasa nyaman berada di dekatnya. Singkat kata, dalam anamnesis ini kemampuan dokter untuk berkomunikasi secara menyenangkan mesti terintegrasi dengan kemampuan medis yang tinggi.

Pemeriksaan Fisik

Inilah tindakan yang sering menjadi salah kaprah orang-orang awam terhadap para dokter. Banyak yang berpikir bahwa datang ke dokter mesti diperiksa, dibuka bajunya, didengar dengan stetoskop, serta tindakan-tindakan lain yang tidak terlalu umum dikerjakan masyarakat awam.

Padahal, baik dalam teori dan prakteknya, penegakan diagnosis pasien sebagian besar sudah bisa digali dengan anamnesis. Pemeriksaan yang dilakukan tehadap fisik pasien hanyalah menjadi penguat keyakinan dokter terhadap dugaan penyakit dan kelainan organ yang muncul.

Kalau bisa dibilang jujur, beberapa dokter bahkan melakukan pemeriksaan fisik hanya sebagai ritual plasebo1. Pasalnya, tak bisa dipungkiri bahwa datang ke dokter tanpa ‘dipegang’ oleh dokter tersebut sepertinya kurang afdhal. Jangankan dipegang, beberapa pasien bahkan baru melihat dokternya saja sudah merasa sembuh dan tenang hatinya. Jangan salah, pasien-pasien yang seperti ini tidak hanya berasal dari kalangan pasien kurang terdidik atau pasien yang kurang mampu. Beberapa pasien bonafide pun masih merasa bahwa kehadiran dan
tindakan yang dilakukan dokter mampu memberikan dorongan psikologis terhadap dirinya.

80% kesembuhan penyakit sangat tergantung dari persepsi seorang terhadap kesembuhan dirinya. Sebenarnya yang diutamakan dari seorang dokter ialah usaha dia dalam mencoba menyembuhkan penyakit pasien. Selebihnya, hanya Allah SWT yang mampu menyembuhkan penyakit setiap orang.

Farid Abdul Hadi (Mahasiswa kedokteran UI)

2 komentar:

Kuswantoro mengatakan...

bagus rid.

arie mengatakan...

semoga istiqomah n menjadi dokter yang baik
amin
ar-cah@telkom.net