Minggu, 29 Januari 2006

SPB (Sistem Penanganan Bencana) INDONESIA

Air mata ibu pertiwi mungkin sudah kering melihat berbagai bencana yang diterima anak kandungnya entah itu karena ketidaksabaran alam atau karena kesalahan hasil karsa manusia-manusia yang dilahirkan anak kandungnya. Belum dua minggu presiden Susilo menghadiri peringatan setahun bencana nasional tsunami Aceh, kecamatan Banjarmangu, kabupaten Banjarnegara, Jember mendapat bencana Banjir Bandang yang membuat beberapa penduduk menjadi tuna wisma dikarenakan rumah-rumah mereka hancur termakan gelombang air bercampur lumpur longsoran.

Jika dibandingkan dengan air bah yang menyerang Nanggroe Aceh Darussalam kurun waktu lampau, banjir Jember ini bisa dikatakan “nggak ada apa-apanya”. Namun untuk konteks penderitaan, yang dirasakan para korban banjir Jember dan Tsunami Aceh, hal tersebut sama-sama menghasilkan penderitaan yang berat. Perbedaannya adalah tsunami Aceh tidak diprediksikan sebelumnya, berbeda dengan banjir Jember 4 Januari 2006 lalu yang sudah nyaring disuarakan dan diperingatkan oleh berbagai lembaga pemerintahan dan nonpemerintahan terutama yang paling gencar adalah Wahana Lingkungan Hidup (Walhi).

Menurut WALHI, mereka sudah lama menyampaikan kepada Pemerintah Daerah Jember bahwa daerah Jember memiliki potensi untuk mengalami banjir. Jember termasuk dari 23 titik rawan banjir di daerah Jawa Timur yang dikeluarkan tahun 2003. Pemda tidak menanggapi. Padahal banyak sekali kasus banjir bandang yang terjadi sejak tahun 2000 dan bencana tersebut semuanya diperingatkan dan diprediksi sebelumnya. Seakan pemda takabur dan menutup mata terhadap data-data yang ada. Mirip orang yang jatuh dua kali pada lubang yang sama.

BAKORNAS

Tahun 1999 pemerintah telah membuat Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Pengungsian (Bakornas PBP) yang khusus bertanggung jawab dalam menangani berbagai bencana mencakup kegiatan pencegahan, penjinakan/mitigasi, penyelamatan, rehabilitasi, dan konstruksi (Keppres No.3 tahun 2001 pasal 2 ayat 1). Pembentukan Bakornas memiliki maksud agar penanganan dan penanggulangan bencana dapat berjalan dengan cepat, tepat, terpadu, dan terkoordinasi.

Namun cita-cita penanganan dan penanggulangan yang terkoordinasi, cepat, tepat, dan terpadu tidak terealisasi karena kurangnya kekuatan wewenang yang dimiliki Bakornas. Badan ini lebih berfungsi sebagai sekretariat penanganan bencana tanpa fungsi pelaksana (Septo Pradityo, 2005). Bakornas hanya berwenang mengkoordinasikan dan mendelegasikan tugas kepada departemen-departemen yang terkait, dan departemen tersebutlah yang melakasanakan penanganan pencegahan secara langsung.

Apa peran Bakornas selanjutnya? Tidak ada lagi, setidaknya untuk hal-hal yang bersifat aksi konkret. Para departemen yang diberikan wewenang pun belum dapat bekerja dengan leluasa karena kebijakan yang mereka buat harus menunggu persetujuan presiden. Kewenangan departemen untuk penanganan bencana belum secara komprehensif diatur dalam Undang-Undang. Hal inilah yang membuat penanganan bencana di Indonesia berjalan lamban. Jalur birokrasi terlalu panjang dan ribet, bahkan untuk masalah yang berstatus darurat dan membutuhkan respon cepat

RESOLUSI

Oleh karena itu dibutuhkan suatu perombakan menyeluruh pada sistem penanganan bencana yang ada saat ini. Indonesia memiliki banyak situs rawan bencana di dalam peta geologi. Apa pemerintah berencana membahayakan rakyat dengan kelambanan dan buruknya manajemen penanganan bencana?

Pemerintah perlu membuat suatu lembaga yang khusus menangani bencana alam bukan sekedar sebuah sekretariat bencana namun juga memiliki wewenang lebih. Menurut Ginanjar Kartasasmita, sepanjang belum ada lembaga yang menangani secara khusus, penanganan bencana di Indonesia kemungkinan bakal terus berjalan lambat. Pemerintah bisa mencontoh Amerika Serikat yang langsung memberlakukan undang-undang Federation Emergency Management (FEMA) di saat terjadi bencana. Dengan undang-undang tersebut semua produk undang-undang lain tunduk di bawahnya. Undang-undang itu juga menunjuk institusi mana yang berwenang menangani bencana (Tempo Interaktif 17 Januari 2005).

RUU darurat bencana sudah lama dibahas di DPR dan hingga saat ini belum terlihat akan tuntas, setidaknya hingga akhir tahun 2005. Saya pikir pemerintah harus memprioritaskan penyelesaian RUU darurat bencana ini karena seperti biasa, awal-awal tahun adalah saat-saat dimana Indonesia mendapatkan curah hujan yang sangat tinggi. Dengan keadaan alam yang sudah semakin rusak ditambah kurangnya kesiapan infrastruktur penunjang bisa jadi bencana banjir yang datang ini akan lebih dahsyat daripada banjir tahun-tahun kemarin. Keseriusan pemerintah dalam menjawab permasalah bencana ini akan menjamin kenyamanan masyarakat dalam menghadapi musim penghujan tahun ini . Apabila pemerintah tidak mampu belajar dari bencana-bencana yang lalu mungkin masyarakat kembali akan berbondong-bondong tinggal di tenda-tenda pengungsian selama musim hujan ini.

Denny Juzaili (Mahasiswa tahun Pertama Farmasi, UI)
d_juzaili@fastmail.fm

Tidak ada komentar: